Oleh: Awalil Rizky, ekonom Bright Institute
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III-2024 menunjukkan surplus sebesar US$5,87 miliar, namun secara kumulatif masih mencatat defisit dan mengindikasikan ketidakseimbangan yang memprihatinkan dalam transaksi internasional negara ini
KINERJA Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III-2024 dinilai Bank Indonesia tetap terjaga di tengah peningkatan ketidakpastian global. Alasan yang dikemukakan antara lain karena NPI mengalami surplus sebesar US$5,87 miliar. Padahal, secara kumulatif januari-September 2024 sebenarnya masih defisit US$660 juta.
Disampaikan bahwa transaksi berjalan tercatat defisit lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang US$3,2 miliar, hingga hanya sebesar US$2,2 miliar. Memang tampak membaik, namun secara kumulatif justeru defisit US$7,88 miliar. Diprakirakan hingga akhir tahun menjadi rekor defisit terlebar lima tahun terakhir.
Bank Indonesia membanggakan pula kondisi neraca transaksi modal dan finansial yang surplus sebesar US$6,57 miliar pada triwulan III 2024. Memang meningkat dibandingkan dengan surplus triwulan sebelumnya yang US$2,96 miliar. Namun, diprakirakan surplusnya tidak akan melebihi US$10 miliar, jauh lebih rendah dibanding era prapandemi.
NPI merupakan catatan transaksi internasional penduduk Indonesia dengan nonpenduduk secara keseluruhan dalam sudut pandang Indonesia. Ada transaksi yang bersifat penerimaan dan ada yang bersifat pembayaran. Surplus berarti penerimaan lebih besar dibanding pembayaran, sedangkan sebaliknya disebut defisit.
Selama periode 1981-1996 dialami surplus sebanyak 12 kali, dan defisit sebanyak 4 kali. Pada tahun 1997 dan 1998 dialami defisit yang lebar. Selama periode tahun 1999-2023 dialami surplus sebanyak 17 kali dan defisit 7 kali. Pada tahun 2024 hingga akhir September masih defisit.
Terdapat dua kelompok transaksi dalam Neraca Pembayaran. Kelompok pertama adalah transaksi yang tidak mengakibatkan hak dan kewajiban lagi di waktu mendatang setelah transaksi selesai. DisebutTransaksi Berjalan yang bisa diartikan sebagai neraca perdagangan seluruh barang dan jasa.
Selama era tahun 2012-2020 kondisi Transaksi Berjalan selalu mengalami defisit. Pada tahun 2021 dan 2022 mengalami surplus. Pada tahun 2023 kembali mengalami defisit. Sebagai catatan, pada era 1998-2011 selalu mengalami surplus. Sebelumnya lagi, tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit.
Transaksi Berjalan sampai dengan akhir tahun 2024 diprakirakan akan defisit kisaran US$10 miliar. Meski masih lebih rendah dibanding defisit era prapandemi, namun memberi sinyal akan kembalinya tren defisit beberapa tahun lampau.
Pada Oktober 2024, International Monetary Fund (IMF) telah memproyeksikan peningkatan defisit Transaksi Berjalan Indonesia hingga beberapa tahun ke depan. Diproyeksikan sebagai berikut: US$13,16 miliar (2024), US$20,52 miliar (2025), US$23,07 miliar (2026), US$23,60 miliar (2027), US$25,52 miliar (2028), dan US$29,25 miliar (2029).
Transaksi Berjalan terdiri dari empat komponen yang juga berbentuk neraca. Yaitu: necara barang Jasa-jasa, Pendapatan Primer dan Pendapatan Sekunder. Neraca barang dan Pendapatan sekunder masih cenderung surplus sebagaimana biasa. Namun neraca jasa-jasa dan Pendapatan Primer juga terus mengalami defisit
Neraca Jasa-Jasa Indonesia mengalami defisit sebesar US$13,41 miliar selama tiga triwulan, dan diprakirakan akan mencapai US$18 miliar pada 2024. Setara dengan tahun 2023 dan termasuk yang tertinggi selama belasan tahun terakhir. Pembayaran atas jasa-jasa asing telah mencapai US$42,05 miliar selama tiga triwulan, dan berpotensi menjadi rekor terbanyak sampai akhir tahun.
Neraca Pendapatan Primer mengalami defisit sebesar US$27,45 miliar selama tiga triwulan 2024. Neraca Pendapatan Investasi sebagai komponen utamanya mengalami defisit sebesar US$26,36 miliar. Kondisi keduanya merupakan yang terburuk selama beberapa tahun terakhir.
Kelompok kedua dari neraca pembayaran merupakan transaksi yang berdampak pada hak dan kewajiban di waktu mendatang, disebut sebagai Transaksi Finansial. Baik yang bersifat utang piutang ataupun bersifat investasi. Sebagai contoh hak dan kewajiban itu berupa pengembalian pokok utang, pembayaran bunga utang, pembayaran keuntungan, dan hal lain yang serupa.
Neraca Transaksi finansial selama belasan tahun hampir selalu bersifat arus masuk bersih. Lebih banyak modal finansial yang masuk dibandingkan yang keluar. Nilai surplus nya menurun signifikan pada tahun 2020 dan 2021, dan kemudian mengalami defisit sebesar US$9,16 miliar pada 2022.
Neraca Transaksi Finansial membaik menjadi surplus sebesar US$9,51 miliar pada 2023. Diprakirakan masih surplus pada tahun 2024, meski sedikit di bawah tahun 2023. Namun besaran surplus masih jauh di bawah era prapandemi.
Uraian di atas memperlihatkan data-data tidak terlampau mendukung klaim Bank Indonesia tentang kondisi ketahanan eksternal yang disebut terjaga.
Kata terjaga memang bisa ditafsirkan kondisinya tidak terlampau buruk. Namun tidak bisa dipungkiri kondisi umum NPI atau transaksi internasional Indonesia belum membaik, termasuk beberapa komponen utamanya. []