Realisasi Pendapatan Negara APBN 2024 yang melampaui target tampak membanggakan, namun analisis mendalam justru menunjukkan tantangan serius dalam kinerja perpajakan dan proyeksi ekonomi untuk 2025, yang berpotensi melemahkan daya beli masyarakat dan stabilitas fiskal.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
REALISASI sementara Pendapatan Negara APBN 2024 sebesar Rp2.842,5 triliun melampaui target yang sebesar Rp2.802,5 triliun. Pencapaian 101,4% dari target dibanggakan Pemerintah sebagai kinerja yang baik. Padahal, pencermatan atas berbagai komponen pendapatan justeru mengindikasikan kinerja yang kurang baik.
Pendapatan Negara pada APBN terdiri dari dua komponen utama, yaitu Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ada satu komponen lagi yaitu hibah, namun karena relatif kecil biasanya tidak dianalisis. Realisasi pada 2024 sebagai berikut: Perpajakan (Rp2.232,7 triliun), PNBP (Rp579,5 triliun), dan Hibah (Rp30,3 triliun)
Realisasi penerimaan Perpajakan hanya mencapai 96,7% dari target. Khusus penerimaan pajak, yang tak memasukan kepabeanan dan cukai sebesar 97,2% dari target. Kinerja yang tidak mencapai target biasa disebut shortfall perpajakan dan pajak.
Capaian itu juga memberi indikasi perekonomian sedang lesu dan tak sesuai harapan tahun lalu pada saat APBN ditetapkan. Transaksi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tak sesuai harapan. Terkonfirmasi dengan diakuinya pertumbuhan ekonomi hanya 5% atau di bawah target.
Realisasi Penerimaan Pajak sebesar Rp1.932,4 triliun pada 2024, membuat target APBN 2025 yang sebesar Rp2.189,3 triliun membutuhkan kenaikan sebesar 13,29%. Target kenaikan tersebut sangat tinggi jika dilihat data historis selama beberapa tahun terakhir. Ditambah kondisi perekonomian 2025 yang diproyeksikan banyak pihak belum akan membaik.
Dua jenis pajak yang berkinerja tidak terlampau baik pada 2024 adalah yang terbesar dari lima jenis pajak. Yaitu Pajak Penghasilan (PPh) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah PPN (PpnBM). PPh hanya sebesar Rp1.062,7 triliun atau nyaris tidak tumbuh (naik 0,14%) dibanding tahun 2023. Dan hanya mencapai 93,2% dari targetnya.
Target PPh pada APBN 2025 sebesar Rp1.209,3 triliun membutuhkan kenaikan sebesar 13,79%. Target yang cukup berat berdasar data historis dan kondisi perekonomian terkini beserta prospeknya pada 2025. Tidak terdukung pula oleh target pertumbuhan ekonomi yang 5,2%, akibat shortfall lebih lebar dari prakiraan saat APBN disusun.
Realisasi Pendapatan PPN dan PpnBM APBN 2024 sebesar Rp824,5 triliun memang mencapai 101,6% dari target. Capaian itu mengalami kenaikan sebesar 7,97% dari 2023. Namun laju kenaikan itu lebih rendah dibanding kenaikan pada 2021, 2022 dan 2023.
Dengan target APBN 2025 yang sebesar Rp945,12 triliun, maka masih dibutuhkan kenaikan sebesar 14,63%. Ada indikasi ketika target disusun memang telah diasumsikan kenaikan tarif sesuai amanat Undang-Undang berlaku mulai 1 Januari 2025.

Ternyata, kenaikan tarif bersifat sangat terbatas pada barang dan jasa yang tergolong mewah saja. Bahkan, kenaikan tarif barang mewah itu pun berpotensi tidak optimal, karena risiko penurunan volume dan nilai transaksinya.
Berbagai proyeksi atau outlook memprakirakan kondisi perekonomian belum membaik pada tahun 2025, bahkan berisiko lebih buruk. Oleh karenanya, target pajak dan perpajakan menjadi terlampau tinggi. Padahal, belum bisa dipastikan kinerja PNBP akan sebaik tahun 2024, yang bisa menutupi shortfall perpajakan.
Kondisi demikian tampaknya disadari oleh pemerintah, yang mulai menerapkan upaya ekstra (extra effort) dalam hal perpajakan. Salah satunya berupaya mengatur transaksi underground economy menjadi formal. Dalam konteks ini yang baru diungkap kepada publik soal menambah usaha UMKM yang kena pajak, dengan menurunkan batasnya yang tidak kena pajak.
Telah pula dikemukakan wacana batasan penghasilan orang per orang tidak kena pajak diturunkan, sehingga akan terpungut lebih banyak. Ada catatan tentang hal ini, sebenarnya realisasi PPh pasal 21 melampaui target dan masih tumbuh pesat. Dikhawatirkan upaya ini justeru bisa berdampak buruk, makin menurunkan daya beli masyarakat.
Secara statistik realisasi 2024, PPh yang paling tidak sesuai harapan adalah PPh Badan. Jauh di bawah target, bahkan lebih rendah dibanding 2023. Namun kendala dalam hal ini adalah PPh Badan terkait usaha-usaha besar yang kebanyakan terhubung dengan kondisi perdagangan komoditas dunia. Bagaimanapun, pajak jenis ini yang mestinya masih bisa dioptimalkan pada 2025.
Kebijakan lain yang tampaknya akan dijalankan adalah tax amnesty jilid III, yang butuh ketentuan hukum baru, setingkat undang-undang. Pendapatan berupa denda akan bisa menambah. Namun masalahnya adalah rasa keadilan yang akan menjadi sentiment negatif. Selain itu, pelaksanaan tax amnesty dalam kurun waktu baru tiga tahun dari 2022 mengindikasikan reformasi perpajakan tidak berjalan dengan baik selama ini. []