Belanja negara pada APBN 2025 sebaiknya dipangkas untuk mencegah pemborosan, meningkatkan efisiensi, dan menyesuaikan arah kebijakan pemerintahan baru agar lebih berpihak pada kebutuhan rakyat secara nyata.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
REALISASI sementara Belanja Negara APBN2024 dilaporkan mencapai Rp3.350,3 triliun. Lebih banyak dari targetnya hingga 100,8%, dan meningkat sebesar 7,34% dibanding 2023. Pertumbuhan belanja diklaim kuat dan untuk melindungi rakyat, menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung agenda pembangunan.
Paparan Kementerian Keuangan dalam keterangan pers realisasi sementara APBN 2024 menegaskan Belanja Negara sebagai Shock Absorber antara lain melalui bantuan pangan, stabilisasi pasokan harga pangan, subsidi pupuk, bansos, dan program KUR. Sedangkan sebagai Agent of Development antara lain melalui pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak, penurunan kemiskinan ekstrem dan stunting, penguatan SDM, dukungan untuk PSN dan IKN.
Narasi Pemerintah dalam keterangan pers itu masih bersifat umum, mesti diperiksa lebih lanjut pada rincian belanjanya. Sayang data lengkap belum dipublikasi hingga tulisan ini dibuat, misal tentang jenis belanja dan program yang direalisasi. Beberapa informasi yang disajikan justeru mengurangi arti klaim tersebut.
Dari laporan ternyata enam dari tujuh Asumsi Dasar Ekonomi Makro tidak sesuai asumsi atau target, dalam artian lebih buruk dilihat dari sisi APBN. Salah satunya adalah nilai tukar rupiah atas dolar. Selisih lebih lemah hingga Rp1.162, dari realisasi sebesar Rp16.162 dari asumsi Rp15.000.
Simulasi perhitungan dampak ketidaksesuaian asumsi dengan realisasi disajikan pada dokumen Nota Keuangan dan APBN 2024, meski dengan asumsi yang lainnya tak berubah (ceteris paribus). Dalam hal kurs tiap pelemahan Rp100 akan berdampak kenaikan Belanja sebesar Rp10,2 triliun. Artinya sekitar Rp118,5 triliun.
Sebagai gambaran umum, hal itu antara lain akibat kenaikan dalam nilai rupiah dari belanja yang berbiaya valuta asing. Contohnya: pembayaran bunga utang dalam valuta asing, pembelian barang impor, belanja modal dari impor, perjalanan dinas ke luar negeri, dan lain sebagainya.
Informasi lainnya adalah dalam hal realisasi Transfer ke Daerah, yang memang melampaui target, yakni sebesar Rp863,5 triliun atau 100,7% dari target. Namun, nilainya justeru lebih rendah atau alami kontraksi dibanding realisasi 2023. Pelampauan pun terkait dengan kurs, dalam perhitungan bagi hasil yang merupakan hak daerah.
Transfer ke Daerah ini memang secara porsi dari Belanja Negara mengalami kemerosotan yang nyata pada periode kedua Jokowi. Porsinya turun 35,20% pada 2019 menjadi 25,77% pada 2024. Padahal, dana transfer itu pun sebagian cukup besarnya bersifat “mengikat”, mesti dipakai untuk ini itu.
Dengan demikian, tampak berlebihan ketika kenaikan belanja dijelaskan berupa klaim kinerja yang baik seperti di atas. Kenaikan belanja bisa saja merupakan indikasi pemborosan dan inefisiensi. Info tentang penghematan tahun 2024 yang dikemukakan hanya bernilai Rp3,6 triliun dari perjalanan dinas dan rapat dinas.

Sementara itu, Belanja Negara direncanakan pada APBN 2025 sebesar Rp3.621 triliun. Artinya naik sebesar 8,09% dari realisasi 2024. Laju kenaikan ini terbilang tinggi, jika dilihat dari data historis beberapa tahun terakhir, diluar saat pandemi 2020 dan 2021. Padahal tengah digodog upaya menambah alokasi belanja karena kebutuhan merealisasikan program yang sudah dijanjikan pemerintahan baru.
Pendekatan narasi pemerintah atas belanja pun sejauh ini lebih pada penyajian input, artinya biaya atau alokasi anggaran. Masih kurang penjelasan tentang output, apalagi dampak nyata (outcome). Input disajikan dalam bentuk perkembangan beberapa tahun, sedangkan sebagian output hanya kondisi tahun bersangkutan, dan amat sedikit terkait outcome.
Pemerintahan Prabowo jelas membutuhkan perubahan mendasar dalam kebijakan APBN, termasuk soal belanja dan pengeluaran (investasi). Akan lebih baik jika segera diajukan APBN Perubahan, agar mencerminkan arah kebijakan pemerintahan yang baru.
Sebagai bagian dari itu, langkah memangkas belanja negara 2025 merupakan pilihan rasional. Upaya bergesa memaksakan kenaikan pendapatan justeru bisa memperburuk kondisi rakyat. Ruang untuk memangkas itu tersedia dengan menyisir lebih cermat berbagai belanja dan pengeluaran. Sebagai contoh, penghematan akhir tahun 2024 yang diklaim mestinya dilanjutkan sepanjang tahun 2025. []