Rincian Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) cenderung tidak dipublikasi secara terbuka selama 2 tahun terakhir, bahkan terkesan ‘disembunyikan’.
NILAI aset pemerintah pusat per 31 Desember 2023 dilaporkan mencapai Rp13.073 triliun. Nilai itu disajikan dalam suatu neraca yang menggambarkan posisi keuangan Pemerintah Pusat mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada akhir tahun. Neraca tersebut merupakan bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2023.
LKPP tahun 2023 diserahkan oleh Pemerintah kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir Maret 2024. BPK selesai melakukan audit pada 21 Mei 2024, diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada. 4 Juni 2024. Informasi melalui beberapa portal resmi dilakukan pada pertengahan Juni.
Selain neraca, LKPP 2023 berisi beberapa laporan lain tentang keuangan pemerintah pusat. Di antaranya adalah: Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL), Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Nilai dan rincian aset dalam neraca termasuk yang dijelaskan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Oleh karena neraca termasuk yang paling banyak memiliki item dan subitem, maka sebagian rincian tersaji pula dalam dokumen lampiran yang merupakan bagian tak terpisahkan dari LKPP.
Sayangnya, untuk menganalisis perkembangan nilai aset dari tahun ke tahun memerlukan upaya tersendiri, karena pemerintah atau BPK tidak menyajikannya. Pencermatan mesti dilakukan atas LKPP berbagai tahun. LKPP suatu tahun hanya menyajikan laporan tahun bersangkutan dan sebagian lagi disanding dengan tahun sebelumnya.
1 Gambaran Umum Neraca Tahun 2023
Neraca merupakan laporan yang menggambarkan posisi keuangan Pemerintah Pusat mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada akhir tahun. Penyusunan dan penyajiannya merupakan bagian dari LKPP yang mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). SAP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010.
Penyajian aset, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca ditetapkan berdasarkan basis aktual. Yaitu pada saat diperolehnya hak atas aset, hak tagih atas pendapatan dan atau timbulnya kewajiban tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayarkan oleh pemerintah.
Diatur pula perlakuan penyusunan dan penyajian aset sesuai kelompok atau subkelompok jenisnya. Nilai aset per 31 Desember 2023 sebesar Rp13.072,80 triliun, terdiri dari 6 kelompok aset. Antara lain: Aset Lancar (Rp894,41 triliun), Investasi Jangka Panjang (Rp4.077,23 triliun), Aset Tetap (Rp6.964,27 triliun), Piutang Jangka Panjang (Rp49,19 triliun), Properti investasi (Rp104,37 triliun), dan Aset Lainnya (Rp983,33 triliun).
Aset Lancar terdiri dari 7 kelompok. Antara lain: Kas dan setara kas, Uang muka rekening Bendahara Umum Negara, Investasi Jangka Pendek, Belanja dibayar di muka dan uang muka belanja, Pendapatan yang Masih harus diterima, Piutang, dan Persediaan.
Investasi adalah aset yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomi seperti bunga, dividen dan royalti, atau manfaat sosial. Investasi jangka panjang dimaksudkan dimiliki selama lebih dari 12 bulan. Terdiri dari non-permanen dan permanen. Investasi Non-Permanen dimaksudkan untuk tidak dimiliki terus menerus atau ada niat untuk memperjualbelikan atau menarik kembali.
Aset Tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Aset tetap terdiri dari Tanah, Gedung dan Bangunan, Peralatan dan Mesin, Jalan, Irigasi, dan Jaringan, dan Aset Tetap Lainnya.
Piutang Jangka Panjang adalah piutang yang diharapkan atau dijadwalkan akan diterima dalam jangka waktu lebih dari 12 bulan setelah tanggal pelaporan. Termasuk dalam Piutang Jangka Panjang adalah Tagihan Penjualan Angsuran, Tagihan Tuntutan Perbendaharaan atau Tuntutan Ganti Rugi, Piutang Jangka Panjang Penerusan Pinjaman, Piutang Jangka Panjang Kredit Pemerintah, dan Piutang Jangka Panjang Lainnya.
Properti investasi adalah properti untuk menghasilkan pendapatan berupa sewa atau untuk meningkatkan nilai aset atau kedua-duanya. Namun tidak untuk: 1) digunakan dalam kegiatan pemerintahan, dimanfaatkan oleh masyarakat umum, dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan administratif; atau 2) dijual dan atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.
Aset Lainnya adalah aset pemerintah selain aset lancar, investasi, aset tetap, dan piutang jangka panjang. Termasuk dalam Aset Lainnya adalah Kemitraan dengan Pihak Ketiga, Dana yang Dibatasi Penggunaannya, Aset Tidak Berwujud, Dana Penjaminan, Dana Kelolaan BLU, Aset KKKS, Aset Eks BPPN, Aset Lainnya dari Unit Pemerintah Lainnya, dan Aset Lain-lain.
Neraca menyajikan pula nilai atau jumlah Kewajiban per 31 Desember 2023 sebesar Rp9.536,68 triliun. Terdiri dari: Kewajiban Jangka Pendek (Rp1.092,25 triliun), dan Kewajiban Jangka Panjang (Rp8.444,42 triliun). Dengan demikian jumlah Ekuitas sebesar Rp3.536,12 triliun.
2 Nilai Aset Cenderung Meningkat
Nilai aset pemerintah pusat tahun 2023 mengalami kenaikan sebesar 6,06% dibading tahun 2022. Nilainya memang selalu meningkat selama belasan tahun terakhir. Salah satu penyebabnya memang bertambahnya aset baru, meski dilakukan penyusutan atau pengurangan atas sebagian jenis aset.
Nilai aset pernah melonjak karena adanya penilaian ulang (revaluasi) sebagian jenis aset pada tahun 2015 dan 2019. Pada tahun 2015 kenaikan mencapai 32,02%, terutama karena revaluasi atas jenis aset investasi jangka panjang. Kenaikan sebesar 65,49% pada tahun 2019 terutama karena revaluasi atas aset tetap.
Di luar kedua tahun itu laju kenaikannya tidak mencapai dua digit. Laju kenaikan pada tahun 2016–2018 sebagai berikut: 5,69% (2016), 9,00% (2017), dan 6,35% (2018). Sedangkan laju kenaikan pada 2020-2023 sebagai berikut: 6,03% (2020), 3,21% (2021), 7,60% (2022), dan 6,06% (2023).
Aturan baku tentang penyusutan baru diterapkan secara lebih konsisten sejak LKPP tahun 2013. Oleh karenanya membandingkan nilai aset yang lebih tepat adalah sejak tahun 2013 sampai dengan 2023. Dapat juga dibandingkan nilai aset pada tahun sebelumnya, jika nilai penyusutan tidak disertakan.
3 Kenaikan Aset Tetap Karena Revaluasi
Aset tetap pada tahun 2023 secara bruto mencapai Rp8.364,12 triliun. Setelah memperhitungkan akumulasi penyusutan sebesar Rp1.399,83 triliun, maka nilai bersihnya sebesar Rp6.964,27 triliun.
Nilai Aset Tetap sebelum penyusutan terdiri dari: Tanah (Rp4.428,28 triliun), Peralatan dan Mesin (Rp933,68 triliun), Gedung dan Bangunan (Rp474,21 triliun), Jalan, Irigasi, dan Jaringan (Rp1.138,24 triliun), Konstruksi Dalam Pengerjaan (Rp246,57 triliun), Aset Tetap Lainnya (Rp54,93 triliun), dan Aset Konsesi Jasa (Rp1.088,21 triliiun).
Pemerintah telah menerapkan penyusutan Aset Tetap untuk seluruh entitas akuntansi mulai pelaporan keuangan tahun 2013 sebagaimana PMK No.1/PMK.06/2013 tentang Penyusutan BMN Berupa Aset.
Beberapa jenis aset tetap disajikan nilai bersihnya setelah penyusutan. Antara lain: Peralatan dan Mesin (Rp649,28 triliun), Gedung dan Bangunan (Rp379,63 triliun), Jalan, Irigasi, dan Jaringan (Rp554,80 triliun), Aset Tetap Lainnya (Rp34,11 triliun), dan Aset Konsesi Jasa (Rp1.007,87 triliiun).
Nilai aset tetap memang cenderung meningkat tiap tahun selama 2014–2023, kecuali pada tahun 2018 dan 2012. Penurunan pada tahun 2018 sebesar 5,10% disebabkan oleh reklasifikasi aset tertentu sehingga tidak diperlakukan sebagai aset tetap.
Pada tahun 2019 terjadi lonjakan nilai aset tetap hingga 208% atau menjadi tiga kali lipat dari tahun 2018. Dari Rp1.931,05 triliun menjadi Rp5.949,6 triliun. Hal itu terutama disebabkan revaluasi yang dilaksanakan pada tahun 2017–2018.
Pemerintah melakukan proses Inventarisasi dan Penilaian Kembali Aset Tetap Pemerintah berupa Tanah, Gedung dan Bangunan, serta Jalan, Irigasi, dan Jaringan. Revaluasi itu dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2017 tentang Penilaian Kembali Barang Milik Negara/Daerah.
Aset tetap yang mengalami peningkatan paling dramatis pada tahun 2019 adalah Tanah. Nilainya melonjak menjadi lebih dari 4,5 kali lipat, dari Rp1.018,65 triliun menjadi Rp4.565,75 triliun. Setelah itu justeru cenderung sedikit menurun pada tahun-tahun berikutnya, menjadi sebesar Rp4.428,28 triliun tahun 2023.
Aset tetap yang juga naik signifikan pada tahun 2019 adalah nilai aset Jalan, Irigasi, dan Jaringan. Nilai bersihnya pada tahun 2019 mencapai Rp618,05 Triliun, atau lebih dari 2,5 kali lipat dari tahun sebelumnya. Namun, nilainya cenderung sedikit menurun pada tahun-tahun berikutnya, menjadi sebesar Rp554,80 triliun pada tahun 2023.
Aset Tetap Gedung dan Bangunan juga tercatat bertambah cukup signifikan pada tahun 2019. Mencapai Rp328,92 triliun atau hampir 1,5 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Nilainya kemudian hanya meningkat perlahan dan menjadi sebesar Rp379,63 triliun pada tahun 2023.
Kenaikan signifikan dalam artian melampaui laju biasanya terjadi lagi pada tahun 2022. Aset Tetap bersih tercatat mengalami peningkatan sebesar 13,16% pada tahun 2022 dibanding tahun 2021. Penyebab utamanya adalah terdapat subjenis atau numenklatur baru yang disebut aset konsesi jasa bersih senilai Rp893,74 triliun.
Tidak terdapat item aset konsesi jasa dalam kelompok aset tetap pada sajian neraca tahun-tahun sebelumnya. Tanpa jenis ini, sebenarnya terjadi penurunan dalam nilai aset tetap bersih pada tahun 2022.
Aset konsesi jasa adalah aset yang digunakan untuk menyediakan jasa publik atas nama pemberi konsesi dalam suatu perjanjian konsesi jasa. Aset dimaksud merupakan aset yang disediakan oleh mitra atau disediakan oleh pemberi konsesi. Pemberi konsesi adalah entitas akuntansi atau pelaporan pemerintah pusat, sedangkan mitra adalah operator berbentuk badan usaha.
Dasar hukum dari proses ini adalah PMK 84/PMK.05/2021 tentang Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Nomor 16 Perjanjian Konsesi Jasa – Pemberi Konsesi. Perlakuan akuntansi atas aset dan kewajiban konsesi jasa juga diatur dalam PMK No.231/PMK.05/2022 sebagaimana telah diubah dengan PMK No.57 Tahun 2023 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat.
Dari uraian di atas, catatan dalam soal lonjakan nilai aset tetap yang signifikan hanya terjadi pada saat revaluasi, dalam artian inventarisasi ataupun penilaian ulang nilainya. Terutama dilakukan pada tahun 2017 dan 2018 yang dibukukan pada LKPP tahun 2021, serta penambahan jenis aset baru pada tahun 2022. Tanpa kebijakan tersebut, nilai aset tetap bersih nyaris tidak mengalami peningkatan yang berarti.
4 Investasi Pemerintah Memiliki Banyak Bentuk
Investasi dalam neraca adalah aset yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomi seperti bunga, dividen dan royalti, atau manfaat sosial. Investasi jangka panjang dimaksudkan dimiliki selama lebih dari 12 bulan.
Investasi jangka panjang pemerintah pusat per 31 Desember 2023 dilaporkan sebesar Rp4.077,23 triliun. Terdiri dari investasi jangka panjang non-permanen sebesar Rp297,46 triliun, dan investasi jangka panjang permanen sebesar Rp3.779,77 triliun.
Investasi Non-Permanen dimaksudkan untuk tidak dimiliki terus menerus atau ada niat untuk memperjualbelikan atau menarik kembali. Sedangkan Investasi Permanen dimaksudkan untuk dimiliki secara terus menerus tanpa ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik kembali.
Investasi Jangka Panjang Non-Permanen yang bernilai besar terutama dikelola oleh Direktorat Sistem Manajemen Investasi (SMI) ditjen Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan. Ada pula yang terkait Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada BUMN, serta pinjaman PEN ke daerah.
Investasi permanen dimaksudkan untuk mendapatkan dividen atau menanamkan pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang atau menjaga hubungan kelembagaan.
Terdiri dari: Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara/Pemerintah (Rp3.093,23 triliun), Investasi Permanen Badan Layanan Umum (Rp8,05 triliun), dan Investasi Permanen Lainnya (Rp686.54 triliun).
Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara/Pemerintah (PMN/PMP) terdiridari: Badan Usaha Milik Negara (Rp2.927 triliun), Lembaga Keuangan Internasional (Rp32,35 triliun), Badan Usaha Lainnya (Rp133,48 triliun).
Investasi Permanen Lainnya merupakan nilai penyertaan modal negara pada Bank Indonesia (Rp401,11 triliun), dan Lembaga Penjamin Simpanan (Rp211,97 triliun), dan PMN Lain-Lain (Rp73,46 triliun).
PMN lain-lain pada: PT Eks BHMN Perguruan Tinggi Negeri (Rp50,73 triliun), BPJS Kesehatan (Rp10,29 triliun), BPJS Ketenagakerjaan (Rp12,44 triliun).
Dari uraian di atas, sebenarnya perlu dicermati dan ditelisik lebih mendalam cara klasifikasi masing-masing kelompok. Perlu dijelsakan kepada publik tentang tujuan dan konsistensi pembedaannya yang sekilas tumpang tindih. Meski telah bersesuaian dengan aturan, pada umumnya berupa Peraturan Menteri Keuangan, yang juga mesti ditelaah dan dipertanggungjawabkan kepada publik.
5 Penyertaan Modal Pemerintah/Negara
Salah satu kelompok aset Investasi Permanen Jangka Panjang adalah Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) yang kadang disebut sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN). PMP disajikan dalam tiga kelompok, yaitu: Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Lembaga Keuangan Internasional, dan Badan Usaha Lainnya (Rp133,48 triliun).
PMP pada BUMN merupakan kepemilikan negara pada BUMN yang bertujuan mencari keuntungan dan memberikan pelayanan umum. PMP pada BUMN yang terbesar pada Persero, yang nilainya per 31 Desember 2023 mencapai Rp2.890,48 triliun. Sedangkan pada Perusahaan Umum (Perum) hanya sebesar Rp36,91 triliun.
BUMN Persero yang di bawah pembinaan Kementerian BUMN sebesar Rp2.809,92 triliun. Sedangkan yang di bawah pembinaan Kementerian Keuangan sebesar Rp80,56 triliun.
PMP pada Lembaga Keuangan Internasional per 31 Desember 2023 sebesar Rp32,35 triliun terutama pada 6 lembaga. Antara lain: International Fund for Agricultural Development (IFAD), International Development Association (IDA), Islamic Development Bank (IsDB), International Finance Corporation (IFC), Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).
PMP pada Badan Usaha Lainnya per 31 Desember 2023 sebesar Rp133,48 triliun berada pada banyak perusahaan dalam dan luar negeri. Nilai yang terbesar antara lain: Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI) dan Lembaga Pengelola Investasi (LPEI).
6 Komentar Ekonom
Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute mengatakan pada redaksi bahwa yang disayangkan dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah lampiran yang tidak dipublikasikan secara luas atau terbuka selama 2 tahun terakhir. Padahal diingatkannya bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari LKPP seperti yang dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Rincian dan penjelasan berbagai aset hanya dapat dicermati dari data lampiran LKPP. Bagaimana para ekonom atau publik luas menilai perkembangan dan kondisi aset terkini, jika informasi publik penting semacam ini tidak mudah diperoleh,” kritik Awalil.
Dicontohkan soal aset PMP kepada BUMN yang rinciannya hanya ada dalam Lampiran LKPP. Begitu pula Badan Usaha Lainnya dan PMP Lain-Lain.
Awalil menilai aset pemerintah sebenarnya tidak pernah mengalami kenaikan yang signifikan, kecuali ketika dilakukan revaluasi. Dicontohkan dalam soal lonjakan nilai aset tetap yang signifikan karena revaluasi pada tahun 2019. Begitu pula dengan penambahan nilai jenis aset tetap baru pada tahun 2022 yaitu konsesi aset jasa. Ditambahkan revaluasi pada tahun 2015 pada investasi jangka panjang.
Khusus jenis investasi jangka panjang, Awalil mengingatkan bahwa nilai buku berupa aset kadang menyamarkan faktor risiko. Dicontohkannya beberapa BUMN yang telah dan sedang mengalami kesulitan keuangan, bahkan ada yang bangkrut.
Awalil juga mengingatkan bahwa ketika BPK memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada LKPP harus diartikan bahwa secara pemeriksaan akuntansi berdasar metode dan sistem yang lazim. masih perlu ditelisik berbagai rincian dan sebagiannya membutuhkan pemeriksaan ulang, seperti nilai aset.
“Bagaimanapun, hal ini perlu menjadi bahan diskusi yang konstruktif di kalangan pemerhati dan pembelajar serius tentang keuangan negara. Perlu dihindari narasi berlebihan seolah nilai aset melonjak lebih karena belanja modal, belanja produktif atau yang semacamnya. Begitu pula perlu dijaga kehati-hatian dalam berutang, yang mungkin ‘terdorong’ oleh nilai aset yang besar,” pungkas Awalil. [dmr]