Nilai Saldo Anggaran Lebih yang terlampau besar mengindikasikan mekanisme penganggaran yang tak efektif efisien.
MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati minggu lalu diberitakan meminta persetujuan Badan Anggaran DPR untuk menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp100 triliun pada tahun 2024. Besaran itu merupakan tambahan dari Rp51 triliun yang sudah ditetapkan dalam UU APBN 2024.
Dijelaskan bahwa tambahan penggunaan SAL tersebut sebagai upaya untuk menjaga nilai penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) tetap rendah. Defisit diakui tetap melebar ke kisaran 2,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun jika disetujui akan mengurangi kebutuhan atau pembiayaan utang.
Saldo Anggaran Lebih (SAL) adalah akumulasi neto dari SiLPA/SiKPA tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah, atau dikurangi dengan koreksi pembukuan.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA) adalah selisih lebih atau kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN selama satu periode pelaporan.
Posisi SAL per 31 Desember 2023 sebesar Rp459,50 triliun. Sedikit menurun dari posisi 31 Desember 2022 yang sebesar Rp478,96 triliun. Namun jauh melebihi tahun-tahun sebelumnya, seperti per 31 Desember 2014 atau awal periode Jokowi, yang sebesar Rp86,14 triliun.
Topik SAL jarang mengemuka di media massa. Pihak DPR yang bertugas mengawasi Pemerintah pun tidak terdengar membahasnya secara serius. Ketika Sri Mulyani meminta tambahan penggunaan SAL sebesar Rp100 triliun untuk APBN 2024, maka mesti menjadi perbincangan publik luas.
1 Pengertian Saldo Anggaran Lebih
Saldo Anggaran Lebih (SAL) merupakan akumulasi neto dari sisa lebih atau sisa kurang pembiayaan tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan, ditambah atau dikurangi dengan koreksi pembukuan. Posisi SAL per akhir tahun dapat dilihat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun bersangkutan.
Penyebab awal dari adanya SAL adalah realisasi Anggaran Pendapanan dan Belanja (APBN) yang tak sama dengan Rencana (RAPBN). APBN selama ini selalu disusun bersifat defisit, rencana Belanja melebihi target Pendapatan. Untuk menutupi defisit itu terutama dengan berutang.
Dalam realisasinya, besar defisit tidak persis seperti rencana, dan lebih sering lebih sedikit. Padahal, berutang telanjur dilakukan karena antara lain karena alasan arus kas. Akibatnya, meski tetap defisit terdapat kelebihan duit sisa anggaran.
Kelebihan anggaran tersebut disebut sebagai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA). Penggunaan SiLPA tidak boleh langsung dipergunakan pada tahun anggaran berikutnya, melainkan masuk dahulu pada saldo SAL. Akibatnya SAL terus terakumulasi, dan hanya dipergunakan sesuai yang ditetapkan dalam APBN.
Kondisi SAL wajib disajikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pada bagian Laporan Perubahan SAL. Terdapat informasi tentang kenaikan atau penurunan SAL selama periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Disajikan SAL awal 1 Januari, Sisa Lebih atau Kurang sampai dengan 31 Desember, Penyesuaian SAL, dan kemudian SAL akhir tahun laporan.
Berdasar LKPP tahun 2023, realisasi APBN tahun 2023 mencatatkan SiLPA sebesar Rp19,38 triliun. Informasi lainnya antara lain: Catatan saldo SAL awal tahun sebesar Rp478,96 triliun, SAL yang dipergunakan sebesar Rp35,00 triliun, serta penyesuaian SAL sesuai aturannya sebesar Rp3,84 triliun. Diperolah posisi SAL per 31 Desember 2023 sebesar Rp459,50 triliun.
Menurut catatan pembukuan Pemerintah, saldo SAL tersebut tersebar dalam berbagai akun. Antara lain: Saldo Akhir Kas Bendahara Umum Negara (BUN) sebesar Rp342,84 triliun, Saldo Akhir Kas di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebesar Rp5,13 triliun, Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran sebesar Rp197,71 miliar, Saldo Akhir Kas pada Badan Layanan Umum (BLU) yang sudah disahkan sebesar Rp92,40 triliun, dan Saldo Akhir Kas Hibah di K/L yang sudah disahkan sebesar Rp13,99 triliun.
Nilai total catatan tersebut sebesar Rp454,55 triliun. Nilainya kemudian dilakukan koreksi berdasar berbagai hal sesuai aturan, terutama terkait perhitungan fisik SAL. Setelah penyesuaian yang sebesar Rp4,95 triliun, saldo akhir SAL mencapai Rp459,50 triliun.
LKPP tidak melaporkan tentang penempatan saldo kas berbagai akun seperti BUN, KPPN, BLU, K/L di atas. Seberapa besar nilai yang ditempatkan di Bank Indonesia, Bank Umum, atau yang lainnya. Saldo kas di masing-masing tergabung dengan saldo kas yang bukan SAL.
Bahkan, tidak disajikan informasi tentang bentuk fisik dari saldo SAL. Jika dilihat dari neraca pada LKPP tahun 2023, tersaji bahwa aset kas dan setara kas per 31 Desember 2023 sebesar Rp430,72 triliun atau lebih sedikit dari saldo SAL. Padahal nilai tersebut tidak mungkin seluruhnya merupakan saldo SAL.
Dapat dipastikan bahwa saldo SAL bukan hanya berupa kas dan setara kas. Diperluat lagi oleh info tentang nilai kas dan setara kas di BLU yang hanya sebesar Rp57,12 triliun, jauh lebih sedikit dari saldo SAL di sana. Yang setara hanya kas dan setara kas di KPPN dan bendahara pengeluaran.
Pencermatan atas data Aset Lancar pada Neraca LKPP 2023 yang dibandingkan dengan rincian penempatan saldo akhir SAL, menyiratkan bentuk saldo lainnya. Kemungkinan saldo SAL bernilai besar selain kas dan setara kas adalah pada berupa investasi jangka pendek dan piutang bukan pajak. Masing-masing sebesar Rp35,32 triliun dan Rp346,34 triliun.
Dalam hal piutang bukan pajak, yang tercatat paling besar adalah pada bagian anggaran bendahara umum negara (BA BUN). BA BUN merupakan bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. Tercatat pada pengelolaan transaksi khusus (BA 999.99) sebesar Rp228,61 triliun.
Berkaitan dengan informasi saldo SAL, bentuk serta penempatannya perlu diinformasikan kepada publik luas. Pihak DPR harus lebih aktif mempertanyakan berbagai aspeknya kepada pemerintah sebagai bagian dari pengawasan dan kontrol pengelolaan keuangan negara.
2 Perkembangan Saldo SAL
Realisasi APBN tahun 2023 mencatat kelebihan anggaran yang dikenal sebagai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp19,38 triliun. Selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2023, memang cenderung dialami kelebihan pembiayaan. Hanya pernah terjadi kekurangan pembiayaan pada tahun 2005 dan tahun 2007.
Secara rerata, selama periode 2005-2009 dialami kelebihan sebesar Rp18,30 triliun per tahun. Pada periode 2010–2014 sebesar Rp32,22 triliun. Pada periode 2015–2019 sebesar Rp33,21 triliun. Pada periode 2020–2023 sebesar Rp123,08 triliun. SiLPA mencatat rekor pada tahun 2020 yang mencapai Rp245,60 triliun.
Selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2023, memang cenderung dialami kelebihan pembiayaan. Hanya pernah terjadi kekurangan pembiayaan pada tahun 2005 dan tahun 2007.
Kecenderungan terjadinya SiLPA hampir tiap tahun mengakibatkan saldo SAL terus bertambah. Ditambah lagi dengan SAL yang tidak selalu dilakukan pada tiap tahun anggaran, atau dipakai dalam jumlah yang lebih sedikit dari SiLPA.
Posisi SAL per 31 Desember 2023 sebesar Rp459,50 triliun. Sedikit menurun dari posisi 31 Desember 2022 yang sebesar Rp478,96 triliun. Namun jauh melebihi tahun-tahun sebelumnya, seperti per 31 Desember 2014 atau awal periode Jokowi, yang sebesar Rp86,14 triliun.
3 Dasar Hukum dan Aturan Main
Beberapa Undang-Undang terkait keuangan dan perbendaharaan negara, termasuk pemeriksaannya, tidak mengatur secara jelas dalam hal Saldo Anggaran Lebih (SAL). Aturan yang lebih rinci ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kini yang berlaku adalah PMK Nomor 147/PMK.05/2021 tentang pengelolaan Saldo Anggaran Lebih.
Aturan sebelumnya berdasar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Saldo Anggaran Lebih. PMK ini kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.05/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Saldo Anggaran Lebih.
Tidak ada perubahan signifikan antara ketiganya dalam aspek definisi dan perhitungan SAL. Hanya ada tambahan dalam hal ketentuan perhitungan koreksi pembukuan atau penyesuaian SAL. Begitu pula dengan pihak penyimpan saldo, kecuali tambahan bendahara Kementerian/Lembaga yang belum disebut dalam PMK No.206/2010.
Perubahan ketentuan yang paling mendasar adalah berkaitan dengan bentuk fisik saldo. Berbagai pasal dalam PMK No.206/2010 bisa diartikan hanya berupa kas dan setara kas. Tidak secara jelas disebut fisik saldo SAL selain itu dalam PMK No.203/2013.
Kejelasan adanya bentuk lain baru dinyatakan dalam PMK No.147/2021. Pasal 4 ayat 1 menyebutkan bentuk saldo yang disimpan oleh Bendaharan Umum Negara (BUN). yaitu terdiri atas: a) Saldo yang disimpan dalam rekening milik BUN; dan b) Saldo dalam bentuk Instrumen Keuangan Jangka Pendek.
Ayat 3 mengatakan Instrumen Keuangan Jangka Pendek dimaksud terdiri dari beberapa bentuk. yaitu berupa: a) Penempatan uang; b) SBN; c) Reverse repo, dan; d) Instrumen Keuangan Jangka Pendek lainnya.
Ketentuan yang mengalami perubahan dalam tiga PMK itu adalah mengenai penggunaan. Aturan terkini dalam PMK No.147/2021 pada Pasal 8 ayat 1 disebutkan SAL digunakan untuk: a) Pemenuhan kebutuhan kas temporer; b) Pemenuhan pembiayaan anggaran, dan/atau; c) Stabilisasi.
Pada aturan sebelumnya, PMK No.206/2010 Pasal 9 ayat 1 hanya dinyatakan diutamakan untuk digunakan dalam rangka membiayai defisit APBN tahun anggaran berjalan. Ayat 2 menyebut penggunaan SAL sebagaimana dimaksud dilaksanakan sesuai Undang-Undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kemudian pada PMK No.203/2013 Pasal 9 ayat 1 dikatakan bahwa SAL digunakan dalam rangka: a) Menutup kekurangan pembiayaan APBN, dan/atau; b) Memenuhi kebutuhan pengeluaran Negara pada saat tertentu dalam hal realisasi penerimaan Negara tidak mencukupi membiayai pengeluaran tersebut. Namun dibatasi oleh ayat selanjutnya, dilaksanakan sesuai Undang-Undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dengan demikian, aturan terkini memberi lebih banyak keleluasaan penggunaan SAL. Batasan yang dinyatakan berupa dilakukan dengan terlebih dahulu memperhitungkan kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan serta awal tahun anggaran berikutnya. Perhitungan itu sendiri dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q Direktur Pengelolaan Kas Negara.
4 Komentar Ekonom
Awalil Rizky, ekonom senior Bright Instutute menilai adanya Sisa Lebih atau Kurang dalam realisasi APBN merupakan hal wajar dalam pengelolaan keuangan negara. Namun dia mengingatkan jika nilainya terlampau besar, maka mengindikasikan sistem dan mekanisme penganggaran yang tidak efektif dan tidak efisien.
Awalil mencontohkan kondisi SiLPA tahun 2020 sampai dengan tahun 2022. Dijelaskannya, “Terlepas dalam kondisi pandemi dan pemulihannya, nilai mencapai Rp245 triliun terlampau besar. Apalagi selama tiga tahun itu APBN secara faktual dilakukan perubahan tanpa memakai Undang-Undang APBN. Bagaimana mungkin keleluasaan itu masih membuat SiLPA yang amat besar?”
“Bisa dimengerti sebagai kehati-hatian dalam mengelola arus kas negara. Tidak terbayangkan, jika tak tersedia dana pada waktu harus membayar gaji pegawai atau kewajiban yang amat segera. Akan tetapi, fenomena SiLPA dan SAL mengindikasikan pengelolaan APBN kurang terencana dengan baik.” lanjutnya.
Yang cukup jelas adalah tidak efisien. Salah satu yang paling mencolok berupa pembayaran bunga utang menjadi lebih banyak karena berutang melebihi kebutuhan serta waktu penarikan yang tak tepat. Selain itu, penjelasan tentang SiLPA dan SAL kepada publik nyaris tidak mengemuka. Termasuk jika dikaitkan dengan item Kas dan Setara Kas dalam neraca Pemerintah Pusat.
Salah satu yang mestinya dijelaskan lebih memadai kepada publik dan terutama pembahasan dengan DPR adalah soal SAL berbentuk instrumen keuangan jangka pendek. PMK terkini memberi kekuasaan yang besar pada BUN (Menteri Keuangan) untuk membuat aturan main dan pelaksanaan terkait.
Bagaimanapun, meski diatur untuk yang berisiko rendah, Instrumen Keuangan Jangka Pendek tetap memiliki risiko. Begitu pula jika dilakukan pelepasan atasnya. Jika memberi keuntungan, bagaimana menghitung kewajarannya. Dan tak tertutup kemungkinan menimbulkan kerugian.
Yanuar Rizky, ekonom senior, mengatakan pada redaksi bahwa Pemerintah diwajibkan memakai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dalam menyusun laporan keuangannya. Standar akuntansi sendiri secara umum merupakan produk hukum dalam mengakui dan mengukur transaksi keuangan di laporan keuangan yang menjadi jembatan komunikasi antara pembuat laporan keuangan dengan pengguna dan pembacanya.
Dijelaskannya bahwa SAP yang dipergunakan mengacu kepada kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang ditetapkan melalui beberapa Undang-Undang, terutama UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara. Atas dasar hukum itu, prinsip pengakuan dan pengukuran keuangan negara di SAP adalah basis kas menuju basis akrual.
“Secara umum, pengakuan atas pendapatan, belanja, dan pembiayaan berbasis kas, sedangkan aset, utang, dan ekuitas berbasis akrual,” kata Yanuar. Dijelaskannya lebih lanjut, prinsip basis kas menuju basis akrual, menunjukan pengakuan transaksi keuangan operasional pemerintah bersifat kas. Diukur dan dicatat sesuai nilai uang yang diterima dan dibelanjakan pada tahun berjalan. Dengan demikian, pemerintah tidak mengakui potensi pendapatan dan atau biaya di masa depan dengan mengukurnya secara akrual di masa kini.
Dijelaskan kepada redaksi tentang proses teknis terjadinya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) ke saldo Sisa Anggaran Lebih (SAL). Lalu akumulasi SiLPA ke saldo SAL secara pencatatan menjadi saldo kas dan setata kas di neraca Pemerintah. Ketika SiLPA berbasis kas, namun dalam akumulasi pada saldo SAL menjadi berbasis akrual.
“Pencermatan atas SiLPA dan saldo SAL dikaitkan dengan berbagai indikator utang seperti yang pernah dikemukakan BPK dalam reviu tahun 2019 dan 2020, menunjukan sumbernya bukan dari Pendapatan Negara. Melainkan berasal dari realisasi penerimaan pembiayaan yang bersumber pada utang baru,” kata Yanuar.
Dijelaskan lebih lanjut, oleh karena bersumber dari pembiayaan utang, maka besarnya saldo SAL sebenarnya berbiaya di masa mendatang. Terlihat ada kas atau setara kas, sebenarnya ada bunga yang jadi beban akrual di neraca.
Yanuar mengingatkan bahwa secara hukum mestinya saldo SAL tak bisa dipakai untuk penempatan aset dan atau liabilitas sepanjang belum mendapat persetujuan DPR. Secara lebih khusus diingatkan karena besarnya saldo SAL, maka permainan posisi kas setara kas bisa menyebabkan penyalahgunaan wewenang. Diperlukan pengawasan ketat atas fungsi bendahara negara, terutama oleh DPR. [adj]