Perkembangan ekonomi Indonesia sekitar belasan tahun mengindikasikan struktur yang tidak kuat bahkan rapuh.
EKONOMI Indonesia masih bisa tumbuh rata-rata 4,61% per tahun selama periode 2011–2023. Dua tahun terakhir tercatat cukup tinggi, yakni 5,31% pada tahun 2022 dan 5,05% pada tahun 2023.
Namun pertumbuhan tersebut tidak berhasil memperkuat struktur ekonomi, sehingga tidak bisa tumbuh lebih tinggi lagi.
Jumlah barang dan jasa yang diproduksi serta laju pertumbuhannya yang tinggi merupakan salah satu fundamen perekonomian. Hal demikian harus didukung oleh struktur produksi yang kuat agar bisa berkelanjutan. Maka mula-mula, penting untuk menyimak bagaimana distribusi pendapatan masing-masing sektor yang terakumulasi dalam besaran Produk Domestik Bruto.
1 Distribusi PDB Menurut Lapangan Usaha, 2023
Pengertian struktur yang kuat dalam konteks perekonomian Indonesia mestinya tecermin dalam banyaknya ragam atau jenis yang diproduksi, dengan beberapa di antaranya bisa menjadi andalan.
Kelompok andalan harus memiliki nilai tambah yang besar, mampu diekspor, serta berdampak luas bagi dinamika ekonomi keseluruhan. Oleh karena Indonesia memiliki penduduk yang sangat banyak, maka sektor ekonomi yang menjadi andalan harus bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Struktur ekonomi terutama digambarkan oleh distribusi Produk Domestik Bruto (PDB) dalam sektor-sektor ekonomi atau lapangan usaha. Struktur ekonomi dalam hal ini diartikan sebagai struktur produksi. PDB menurut lapangan usaha kini disajikan dalam 17 sektor.
PDB sebesar Rp20.892 triliun pada tahun 2023 terdistribusi dalam 17 sektor yang disajikan oleh BPS dalam nilai rupiah dan persentase atas totalnya. Porsi lima sektor terbesar adalah sebagai berikut: Industri Pengolahan (18,67%), Perdagangan (12,94%), Pertanian (12,53%), Pertambangan (10,52%), dan Konstruksi (9,92%).
Analisis struktur ekonomi atau struktur produksi lazimnya membandingkan struktur dari tahun ke tahun. Perubahan akan lebih tampak untuk kurun waktu yang lebih panjang, minimal satu dekade. Fokus perhatian biasanya pada sektor yang berporsi besar, seperti sektor industri pengolahan yang terdiri dari 16 subsektor dan sektor pertanian yang terdiri dari 7 subsektor.
2 Industri Pengolahan yang Merosot
Pengamatan atas struktur PDB untuk kurun waktu yang panjang akan menggambarkan perubahan struktur perekonomian. Sebagai contoh, dapat dicermati porsi sektor industri pengolahan pada lima, sepuluh, dua puluh hingga tiga puluh tahun lalu. Porsinya tercatat sebagai berikut: 9,34% (1970), 11,64% (1980), 20,66% (1990), 27,75% (2000), 22,04% (2010), dan 19,67% (2023).
Jika digambarkan dalam grafik per tahun dalam jangka panjang, tampak kecenderungan porsi sektor industri naik selama tahun 1970–2008, dan kecenderungan turun selama tahun 2009–2023. Kondisi era pertama biasa disebut sebagai industrialisasi dan proses era berikutnya merupakan indikasi deindustrialisasi.
Industrialisasi terjadi pada suatu negara yang mulai membangun dan pembangunannya berjalan cukup baik. Sedangkan deindustrialisasi biasa terjadi jika suatu perekonomian telah sangat maju dan modern, serta pendapatan per kapita penduduknya tergolong tinggi. Deindustrialisasi diiringi oleh perkembangan jasa-jasa modern yang mengambil sebagian porsi industri pengolahan.
Akan tetapi yang terjadi di Indonesia bukanlah deindustrialisasi semacam itu. Deindustrialisasi telah berlangsung ketika Indonesia belum mencapai pendapatan per kapita yang tinggi dan belum pernah mencapai porsi kisaran 40% yang berlangsung cukup lama.
Perhatian kepada porsi Industri Pengolahan antara lain karena menunjukkan seberapa bergantung suatu perekonomian pada hasil alam secara langsung, seperti sektor pertambangan dan penggalian dan sektor pertanian. Selain itu, Industri Pengolahan biasanya memberi nilai tambah ekonomi yang lebih besar dalam proses produksinya.
Meski masih yang terbesar, porsi Industri Pengolahan dalam PDB cenderung menurun. Porsinya masih sebesar 22,04% pada tahun 2010, kemudian turun menjadi 21,08% pada tahun 2014 dan 19,70% pada tahun 2019. Penurunan porsi masih berlanjut secara perlahan, hingga hanya sebesar 18,67% pada tahun 2023.
Pada sisi lain, Industri Pengolahan masih menciptakan lapangan kerja yang meningkat. Pekerjanya sebanyak 19,17 juta orang atau 14,17% dari total pekerja pada Agustus 2023. Sebagai gambaran, jumlah pekerjanya sebanyak 13,82 juta pada tahun 2010 dan 11,64 juta orang pada tahun 2000.
Meski demikian, data-data tersebut mengisyaratkan tidak membaiknya produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan. Penurunan porsi atas PDB diikuti oleh bertambahnya pekerja. Bisa diartikan bahwa kesejahteraan pekerjanya juga tidak bisa membaik signifikan.
Dalam hal fenomena deindustrialisasi memang perlu diperiksa lebih jauh lagi tentang perbandingan porsi industri pengolahan dengan porsi jasa-jasa penunjang industri, termasuk sektor keuangan dan sektor informasi. Ditambah pencermatan atas subsektor industri pengolahan apa saja yang memiliki porsi lebih besar, terutama berkaitan dengan tingkat teknologi yang dipergunakan dalam produksi.
3 Buruknya Kinerja Pertanian
Dalam transformasi ekonomi suatu negara ketika melakukan pembangunan ekonomi, cukup lazim jika sektor pertanian perlahan tumbuh melambat. Porsinya terhadap PDB pun atau dalam struktur ekonomi menurun.
Pada saat bersamaan, industri pengolahan seharusnya tumbuh pesat dan porsinya meningkat signifikan. Dengan demikian, terjadi perpindahan sumber daya terutama tenaga kerja, dari sektor pertanian ke industri pengolahan.
Porsi sektor pertanian dalam total PDB Harga Berlaku masih sebesar 47,16% pada tahun 1970. Penurunan porsi berlangsung secara cukup cepat dan konsisten hingga tahun 2005 yang tercatat sebesar 13,13%. Porsinya kemudian berfluktuatif dengan kecenderungan hanya bertahan kisaran 12–13%. Porsinya sebesar 12,53% pada tahun 2023.
Penurunan itu membuat posisinya dalam struktur produksi menjadi hanya urutan ketiga pada tahun 2023. Hal itu terutama disebabkan hanya tumbuh sebesar 1,30% pada tahun 2023. Melanjutkan tren tumbuh rendah selama beberapa tahun sebelumnya, yaitu: 1,77% (2020), 1,87% (2021) dan 2,25% (2022).
Padahal, sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja paling besar. Penduduk bekerja di sektor ini mencapai 39,45 juta orang atau 28,21% dari seluruh pekerja pada tahun 2023.
Dilihat dari perubahan porsi atas PDB dan penyerapan atas tenaga kerja, maka transformasi yang terjadi tidak sesuai harapan atau lazimnya pembangunan ekonomi yang berhasil. Penurunan porsi sektor pertanian atas PDB tidak diikuti oleh berkurangnya orang yang bekerja di sektor tersebut secara signifikan.
Sebagai gambaran, porsi sektor pertanian atas PDB pada tahun 2000 sebesar 19,61% dan menampung 40,68 juta tenaga kerja. Porsinya pada tahun 2023 hanya sebesar 12,53%, namun masih mempekerjakan 39,45 juta orang.
Kinerja tidak menggembirakan dari sektor pertanian terutama tampak pada subsektor Tanaman Pangan. Tanaman Pangan mengalami kontraksi sebesar minus 3,88% pada tahun 2023. Sebelumnya hanya tumbuh sebesar 0,08% pada tahun 2022 dan kontraksi minus 1,40% pada tahun 2021.
Nilai PDB atas dasar harga konstan sektor Tanaman Pangan tahun 2023 sebesar Rp287,81 triliun. Turun sebesar 3,88% dari 2022 yang Rp299,44 triliun. Produksi riil tanaman pangan 2023 tersebut merupakan yang terendah selama 7 tahun terakhir.
4 Sektor Pertambangan yang Fluktuatif
Dalam horizon waktu jangka panjang, salah satu sektor yang sempat berporsi sangat besar pada masa lalu adalah sektor pertambangan dan penggalian. Bahkan merupakan sektor berporsi terbesar pada tahun 1980 yang mencapai 25,68% dari total PDB. Melebihi porsi sektor pertanian (24,84%) dan Industri Pengolahan (11,64%) pada saat itu.
Porsi besar sektor pertambangan dan penggalian di masa lalu terutama berasal dari produksi minyak bumi, kemudian bertambah dengan gas bumi, batu bara serta komoditas lainnya. Meski produksi masih sempat meningkat hingga lebih dari satu dekade kemudian, porsinya menurun. Antara lain karena sektor industri pengolahan bisa tumbuh cepat. Fenomena yang bisa dikatakan cukup sesuai dengan teori dan upaya transformasi atau pembangunan ekonomi.
Setelah mencapai porsi terbesar pada tahun 1980 (25,68%), porsi sektor pertambangan dalam PDB cenderung terus menurun. Sekadar gambaran porsinya berikut ini: 13,35% (1990), 12,07% (2000), 10,46% (2010) dan 6,44% (2020). Porsi tahun 2020 tersebut setara dengan tahun 1971 yang sebesar 6,54% dari PDB.
Seiring dengan kenaikan harga komoditas dan permintaan yang meningkat dari negara mitra dagang, produksi sektor ini mengalami peningkatan sangat signifikan pada tahun 2021–2023. Porsinya dalam PDB pun melesat, meski masih fluktuatif, menjadi 8,98% (2021), 12,22% (2022), dan 10,52% (2023).
Meskipun fenomena itu menguntungkan dan berperan mendorong laju pertumbuhan ekonomi saat ini, namun bukan petanda baik bagi transformasi ekonomi. Fundamen ekonomi tidak cukup kuat jika kembali mengandalkan sektor primer, dan berisiko dalam hal keberlanjutannya. Sektor ini terbilang sangat bergantung pada dinamika pasar global yang sangat bergejolak.
5 Komentar Ekonom
“Struktur ekonomi Indonesia saat ini dan perkembangan sekitar belasan tahun mengindikasikan struktur yang tidak kuat, bahkan rapuh,” kata Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute.
Dijelaskan pengertian struktur yang kuat dalam konteks perekonomian Indonesia harus tercermin dalam cukup banyaknya ragam atau jenis yang diproduksi, dan beberapa di antaranya bisa menjadi andalan. Andalan itu memiliki nilai tambah yang besar, sebagian produknya mampu diekspor, serta berefek pengganda bagi dinamika ekonomi keseluruhan.
“Oleh karena Indonesia memiliki penduduk yang sangat banyak, maka sektor ekonomi yang menjadi andalan harus bisa menciptakan lapangan kerja yang cukup luas,” lanjut Awalil.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dekade ini tidak berhasil menciptakan struktur ekonomi yang kuat. Ekonomi tumbuh tanpa andalan sektor yang memiliki efek pengganda, seolah beberapa sektor secara bergantian saja menopang pertumbuhan. Komoditas yang bernilai ekspor cukup besar terbatas itu-itu saja.
“Sektor informasi dan komunikasi mampu tumbuh tinggi, namun tidak menyumbang berarti dalam ekspor. Begitu pula sektor transportasi dan pergudangan dan jasa perusahaan. Industri pengolahan yang diharapkan menjadi penopang utama perekonomian justeru tumbuh melemah,” kata Awalil.
Menurutnya, pelemahan peran industri pengolahan bahkan sudah bersifat deindustrialisasi prematur. Porsi industri pengolahan makin menurun dalam struktur ekonomi, seiring laju pertumbuhan yang di bawah pertumbuhan ekonomi.
Ditambahkan, subsektor industri pengolahan yang berporsi besar dan mampu tumbuh tinggi justeru industri makanan dan minuman. Subsektor ini belum bisa diandalkan menjadi penggerak sektor ekonomi keseluruhan dan nilai ekspornya pun belum cukup besar.
Awalil juga menyoroti kinerja sektor pertanian yang makin melemah. Diingatkan bahwa pekerja sektor ini masih yang terbanyak, dan hampir separuh penduduk miskin memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian. Dengan kondisi demikian, struktur ekonomi yang kuat harus menempatkan sektor pertanian sebagai salah satu fondasi utamanya. []
Discussion about this post