Komponen yang membentuk postur APBN adalah pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran.
SESUAI penyebutannya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terutama menyajikan besaran angka anggaran pendapatan negara dan belanja negara beserta rinciannya. Pemerintah sering menggunakan istilah postur APBN untuk menyampaikan gambaran umumnya.
Kementerian Keuangan yang memulai dan sering memakai istilah ini dalam buku referensinya mengatakan bahwa secara harfiah, postur APBN dapat didefinisikan sebagai “bentuk rencana keuangan pemerintah yang disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku untuk mencapai tujuan bernegara”.
Selain istilah postur, kadang dipakai istilah struktur, dan juga format. Perbedaan antara istilah postur dengan struktur terletak pada aspek penggunaannya. Istilah struktur biasanya menggambarkan APBN yang belum ada besaran angkanya, hanya berisikan susunan nama komponen atau itemnya saja. Postur dipakai jika menggambarkan APBN dengan rincian angkanya, yang dalam penyajian, kadang menggunakan istilah postur ringkas.
Secara prinsip, hanya ada tiga kelompok besar komponen yang membentuk postur APBN, yaitu: Pendapatan Negara, Belanja Negara, dan Pembiayaan Anggaran. Berikut akan dijelaskan arti singkat dari masing-masing komponen, yang penjelasan rinci akan diberikan pada bab-bab tersendiri.
Pertama, pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan negara mencakup semua penerimaan negara dalam satu tahun anggaran yang menambah ekuitas dana lancar dan tidak perlu dibayar kembali oleh negara. Pendapatan negara dalam hal ini tidak sama dengan penerimaan negara.
Penerimaan negara bersifat lebih luas yaitu uang yang masuk ke kas negara. Ada penerimaan negara yang perlu dibayar kembali, sehingga tidak dimasukkan ke dalam pendapatan, seperti penerimaan utang. Selain itu, terdapat pengembalian dari pinjaman atau investasi yang diberikan pada waktu sebelumnya.
Pendapatan negara ditargetkan pada RAPBN 2025 sebesar Rp2.996,87 triliun. Terdiri dari penerimaan perpajakan (Rp2.490,91 triliun), penerimaan negara bukan pajak (Rp505,38 triliun), dan penerimaan hibah (Rp581 miliar).
Kedua, belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja negara mencakup semua pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara, serta tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh negara di waktu mendatang.
Dalam konteks APBN, pengertian belanja negara lebih sempit dari pengeluaran negara. Pengeluaran negara merupakan uang yang keluar dari kas negara. Ada pengeluaran yang akan diterima kembali di masa mendatang, sehingga tidak dimasukkan ke dalam belanja. Contohnya, pemberian pinjaman dan pengeluaran investasi untuk BUMN, BLU, dan badan lainnya.
Belanja negara direncanakan RAPBN 2025 sebesar Rp3.613,06 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat (2.693,18 triliun) dan transfer ke daerah (Rp919,87 triliun).
Ketiga, pembiayaan anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Penerimaan pembiayaan antara lain berupa penarikan utang, pengelolaan hasil aset, penerimaan cicilan pengembalian pemberian pinjaman, atau penerimaan kembali investasi. Pengeluaran pembiayaan antara lain berupa pembiayaan investasi, kewajiban penjaminan, pembayaran cicilan pokok utang, atau pemberian pinjaman.
Pada saat APBN disusun atau ditetapkan, nilai pembiayaan anggaran sebesar defisit tahun itu, yang pada RAPBN 2025 sebesar Rp616,19 triliun. Dalam realisasinya nanti akan terjadi perbedaan.
Surplus atau defisit anggaran pun menjadi salah satu bagian postur APBN yang disajikan, bahkan paling sering dibicarakan. Surplus atau defisit anggaran adalah pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara. Surplus atau defisit anggaran kadang disebut pula dengan keseimbangan umum, untuk membedakannya dengan keseimbangan primer.
Keseimbangan primer adalah pendapatan negara dikurangi dengan belanja negara, namun dari komponen belanja negara tersebut pos pembayaran bunga utang tidak diperhitungkan. Jika nilainya bersifat surplus, maka masih tersedia dana atau sebagian dana untuk membayar bunga utang. Jika defisit atau bernilai negatif, maka seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru.
Keseimbangan primer RAPBN 2025 direncanakan masih bersifat defisit atau minus Rp63,3 triliun. Oleh karenanya, seluruh pembayaran bunga utang sebesar Rp552,85 triliun menggunakan dana yang bersumber dari penarikan utang baru. [adj]