Jumlah lapangan kerja di Indonesia tidak bisa mengimbangi jumlah tenaga kerja. Pada akhirnya, sangat banyak penduduk yang bekerja dengan standar jauh dari layak.
KEADAAN ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2024 dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 November 2024. Dimulai dari informasi tentang jumlah penduduk usia kerja, yaitu yang berusia usia 15 tahun ke atas, sebanyak 215,37 juta orang. Terbagi dalam dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Angkatan kerja merupakan mereka yang aktif masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Yaitu yang bekerja, sementara tidak bekerja karena cuti, sakit, mogok, serta tidak bekerja atau pengangguran. Jumlahnya mencapai 152,11 juta orang.
Terdiri dari penduduk bekerja dan pengangguran. Penduduk bekerja sebanyak 144,64 juta orang. Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud untuk memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu terakhir.
Sedangkan pengangguran adalah penduduk usia usia kerja yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Termasuk yang sedang mempersiapkan usaha baru, atau sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja. Jumlahnya sebanyak 7,47 juta orang atau 4,91% dari total angkatan kerja. Persentase ini dikenal sebagai tingkat pengangguran terbuka (TPT).
Sementara itu yang tergolong bukan angkatan kerja adalah mereka yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Antara kain karena bersekolah, kuliah, atau mengurus rumah tangga. Jumlahnya sebanyak 63,26 juta orang.
1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Persentase dari angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK bisa dikatakan sebagai rasio penduduk usia kerja yang memasuki pasar tenaga kerja. TPAK bisa dianalisis sebagai salah satu indikator dari potensi pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam kondisi tertentu menggambarkan keterpaksaan ekonomi untuk mencari pekerjaan.
TPAK pada Agustus 2023 sebesar 70,63%, merupakan yang tertinggi selama belasan tahun ini, dan mengindikasikan keterpaksaan banyak penduduk usia kerja masuk pasar tenaga kerja. Dipertegas oleh TPAK Agustus yang lebih tinggi dibanding Februari pada tahun 2023 dan 2024. juga kurang lazim dan petanda kurang baik. Lazimnya lebih rendah karena dinamika ekonomi yang didorong panen raya atau persiapannya pada bulan Februari.
2 Tingkat Pengangguran Hanya Sedikit Membaik
Jumlah pengangguran sebanyak 7,47 juta orang pada Agustus 2024. Persentasenya dari jumlah angkatan kerja yang sebanyak 152,11 juta orang sebesar 4,91%. Angka persentase ini dikenal sebagai Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).
Perkembangan TPT merupakan salah satu fokus utama analisis perekonomian suatu negara. Dalam kasus Indonesia, perkembangannya tampak cukup stabil kisaran 2,7–2,8% selama era tahun 1986–1993.
TPT cenderung meningkat pada kurun 1994–1998, hingga mencapai 5,46% pada krisis tahun 1998. Dalam hal jumlah pengangguran mencapai 5,05 juta orang. Terbanyak sejak dua dekade sebelumnya.
Pemulihan krisis ekonomi setelahnya tidak segera berdampak pada penurunan jumlah penganggur dan TPT. Masih meningkat hingga tahun 2005, yang mencapai 11,90 juta orang dan TPT sebesar 11,24%.
Baru mulai menurun perlahan sejak 2006, namun sesekali masih meningkat. Secara umum, jumlah pengangguran stabil kisaran 7 juta orang pada 2016–2019. Sedangkan TPT terendah dialami pada 2019 sebesar 5,28%.
Pola serupa berulang ketika terjadi resesi ekonomi akibat pandemi Covid–19. Jumlah pengangguran bertambah cukup signifikan, dari 7,05 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 9,77 juta orang pada Agustus 2020. Sedangkan TPT meningkat dari 5,28% menjadi 7,07%.
Pada tahun 2021–2024 mulai terjadi penurunan, namun belum kembali pada tingkatan 2019 dalam hal jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran pada Agustus 2024 masih lebih banyak dari Agustus 2019. Namun, TPT sudah mulai mencapai level di bawahnya.
Terdapat fenomena laju penurunan TPT yang lebih cepat dibanding jumlah pengangguran pada era sebelum pandemi. Disebabkan faktor laju pertumbuhan angkatan kerja yang meningkat makin pesat tiap tahunnya. Dengan demikian perlu diperhatikan bahwa TPT yang menurun serta sudah di bawah pra pandemi banyak disumbang oleh laju pertumbuhan angkatan kerja yang pesat.
3 Setengah Pengangguran Meningkat
Keadaan ketenagakerjaan Agustus 2024 dicirikan masih banyak dan meningkatnya pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal atau kurang dari 35 jam seminggu. Jumlahnya mencapai 46,19 juta orang, bertambah dari Agustus 2023 yang sebanyak 43,46 juta orang. Termasuk yang paling banyak, kecuali saat pandemi tahun 2020 dan 2021.
Sebanyak 34,67 juta orang sudah puas dengan waktu kerja atau tidak sedang berusaha mencari kerja tambahan. Mereka disebut sebagai pekerja paruh waktu. Secara jumlah merupakan yang terbanyak selama ini, kecuali dari Agustus 2021.
Sebagiannya lagi atau sebanyak 11,56 juta orang mencari tambahan jam kerja atau pekerjaan baru. Mereka disebut sebagai setengah pengangguran. Dibedakan dari pengangguran terbuka diartikan tidak bekerja sama sekali.
Setengah pengangguran digambarkan sebagai penduduk bekerja yang dengan sukarela mencari pekerjaan tambahan serta penduduk bekerja yang bersedia menerima pekerjaan tambahan. Ada pula yang menginginkan pekerjaan lain yang mempunyai jam kerja lebih banyak.
Ketika pandemi, jumlahnya sempat meningkat sangat signifikan hingga mencapai 13,09 juta orang atau 10,19% dari total pekerja tahun 2020. Perlahan menurun pada tahun 2021 dan 2022. Namun kembali meningkat pada tahun 2023 dan 2024.
Persentase setengah pengangguran pada Agustus 2024 yang sebesar 8,00% terbilang cukup tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hanya lebih rendah dibanding keadaan tahun 2020 dan 2021.
Secara gender, tingkat setengah pengangguran laki-laki sebesar 8,28% dan perempuan sebesar 7,57% pada Agustus 2024. Keduanya mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2023 dan 2024. Serta persentase tertinggi selama beberapa tahun terakhir, kecuali dibanding 2020 dan 2021.
4 Penyerapan Tenaga Kerja Secara Sektoral Tidak Menggembirakan
Mereka yang bekerja dirinci menurut lapangan usaha atau sektor ekonomi oleh BPS. Bersesuaian dengan rincian Produk Domestik Bruto (PDB), yang terdiri dari 17 sektor ekonomi.
Tiap pekerja Indonesia masuk dalam salah satu kelompok lapangan usaha atau sektor tersebut. Berdasar informasi tentang pekerjaan utamanya, jika memiliki lebih dari satu pekerjaan.
Pekerja terbanyak bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang mencapai 40,76 juta orang pada Agustus 2024. Merupakan jumlah terbanyak untuk bulan Agustus selama belasan tahun terakhir.
Secara persentase atas seluruh pekerja bukan keadaan tertinggi, yaitu sebesar 28,18%. Empat sektor lainnya dengan porsi pekerja terbanyak pada Agustus 2024 adalah: perdagangan (18,89%), industri pengolahan (13,83%), penyediaan akomodasi dan makan minum (7,79%), serta konstruksi (6,55%).
Dengan demikian, dilihat dari aspek sektor ekonomi penyedia lapangan kerja, sektor pertanian bisa dikatakan terlampau banyak. Padahal nilai tambah yang dihasilkan kurang besar, digambarkan porsi atas PDB yang hanya kisaran 12,50%. Produktivitas per pekerja pun cenderung rendah dan menurun.
Hal itu menjelaskan sebagian sebab kesejahteraan petani yang nyaris tidak membaik. Dipertegas data bahwa hampir separuh rumah tangga miskin memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian.
Sementara itu, sektor industri pengolahan yang memiliki porsi nilai tambah hingga 19% hanya bisa menampung kurang dari 14% pekerja. Apalagi sektor pertambangan yang berporsi hampir 10% atas PDB hanya menyerap 1,20% pekerja.
Struktur pekerja berdasar 17 lapangan usaha kadang diklasifikasi dalam tiga kelompok besar, yaitu: pertanian, industri, dan jasa. Sektor industri dimaksud lebih luas dari industri pengolahan, melainkan juga sektor pertambangan, sektor listrik gas dan air, sektor real estat, dan sektor kontruksi. Sedang pertanian hanya mencakup satu sektor, dan kelompok jasa mencakup 11 sektor.
Porsi penyerapan ketenagakerjaan oleh sektor pertanian sebenarnya menurun tiap tahun seiring dengan transformasi perekonomian pada era pra pandemi. Dari 43,33% pada 2004 menjadi 27,53% pada 2019.
Pada saat pandemi porsinya meningkat menjadi sebesar 29,76% pada Agustus 2020. Setelah itu hanya menurun secara perlahan, hingga masih 28,18% pada Agustus 2024.
Porsi pekerja pada kelompok sektor industri pun cenderung meningkat sebelum era pra pandemi. Dari 18,01% pada 2004 menjadi 23,43% pada 2019. Laju kenaikan porsi ini sebenarnya terbilang perlahan untuk ukuran transformasi struktur ekonomi yang sehat. Pada saat pandemi, porsinya bahkan menurun hingga 21,54% pada Agustus 2020.
Sementara itu kelompok sektor jasa terus meningkat, dari 38,67% pada 2004 menjadi 49,04% pada 2019. Pada saat pandemi hingga saat ini, porsinya relatif stabil dan masih sebesar 49,60% pada 2024.
Salah satu fenomena dalam kelompok jasa yang banyak menyerap tenaga kerja adalah yang tidak terkait langsung dengan industri atau industrialisasi. Sebagian besar jasa-jasanya tidak bisa diekspor dan banyak bersifat kemasyarakatan. Pada saat pandemi dan beberapa tahun pemulihan ekonomi hingga kini, kelompok ini bersama sektor pertanian menjadi andalan penciptaan lapangan kerja.
5 Pekerja Tak Dibayar Semakin Banyak
BPS menyajikan keadaan pekerja Indonesia berdasar status pekerjaan utamanya. Status pekerjaan merupakan jenis kedudukan seseorang dalam pekerjaan di suatu unit usaha atau kegiatan ekonomi. Jika bekerja lebih dari satu status, maka dipakai status dalam pekerjaan yang utama.
Sejak tahun 2001 diklasifikasikan oleh BPS menjadi 7 kategori atau status. Yaitu: 1. Buruh atau Karyawan atau Pegawai; 2. Berusaha Sendiri; 3. Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap; 4. Berusaha Dibantu Buruh Tetap; 5. Pekerja Bebas di Pertanian; 6. Pekerja Bebas di Non Pertanian; 7. Pekerja Keluarga.
Mereka yang bekerja dengan status nomor satu dan nomor empat dikategorikan oleh BPS sebagai pekerja formal. Jumlahnya sebanyak 60,81juta orang atau 42,05% dari total yang bekerja pada Agustus 2024.
Sedangkan empat status lainnya disebut pekerja informal, yaitu yang berstatus nomor 2, 3, 5, 6 dan 7. Jumlahnya sebanyak 83,88 juta orang atau 57,95% dari total pekerja.
Status pekerjaan utama yang terbanyak memang masih buruh atau karyawan atau pegawai yang mencapai 56,13 juta orang (38,80%). Namun masih sangat banyak pekerja termasuk kelompok yang menghasilkan pendapatan rendah dan rentan keberlangsungannya.
Pekerja berstatus berusaha sendiri mencapai 31,50 juta orang (21,78%) dan berstatus berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap dan pekerja tidak dibayar sebanyak 20,01 juta orang (13,83%). Total keduanya sebanyak 51,51 juta orang (35,61%). Pada umumnya mereka merupakan pelaku usaha mikro dan kecil.
Status pekerjaan yang juga memiliki kondisi kurang baik adalah pekerja bebas di pertanian yang mencapai 5,89 juta orang atau 4,08% dari total pekerja. Pada umumnya mereka adalah buruh tani, yang upah riilnya cenderung menurun.
Status yang paling perlu mendapatkan perhatian adalah yang disebut sebagai pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar. Jumlahnya mencapai 19,29 juta orang pada Agustus 2024. Merupakan yang terbanyak selama ini. Padahal, sempat cenderung menurun selama era 2013–2019, hanya 14,76 juta orang pada 2019.
Kondisi sehari-hari mereka ini sebenarnya serupa pengangguran. Hampir bisa dipastikan dalam percakapan, mereka akan mengaku sebagai belum bekerja. Namun, definisi bekerja dari BPS masih mencatat mereka sebagai telah bekerja, karena membantu orang lain memperoleh penghasilan atau keuntungan.
6 Pengangguran Usia Muda Mendominasi
BPS menyajikan berbagai informasi tentang pengangguran beserta karakteristiknya. Salah satu yang sering dicermati oleh para ahli dan pengambil kebijakan adalah tentang pengangguran menurut usia.
Rincian data pengangguran dari BPS menurut kelompok umur disajikan dengan rentang 5 tahunan, antara lain: 15–19 tahun, 20–24 tahun, 25–29 tahun, dan seterusnya. Perhatian analisis terkait terutama tentang indikator Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) usia muda. Usia muda dalam klasifikasi BPS diartikan berumur 15–24 tahun.
TPT usia muda merupakan persentase dari angkatan kerja usia muda saja. Penduduk usia muda yang bukan angkatan kerja tidak diperhitungkan dalam TPT usia muda. Contoh yang bukan angkatan kerja antara lain: sedang bersekolah, putus asa, kecacatan, kurangnya transportasi, pekerjaan rumah tangga, dan lain sebagainya.
TPT usia muda merupakan yang tertinggi, mencapai 17,32% pada Agustus 2024. Meski mulai sedikit menurun, kondisi sebagai TPT tertinggi sudah berlangsung sejak dahulu.
Berbagai karakteristik pengangguran usia muda ini belum dipublikasi oleh BPS untuk kondisi Agustus 2024. Misalnya rincian dari usia 15–19 tahun dan 20–24 tahun, rincian menurut gender, rincian desa dan kota, dan lain sebagainya. Biasanya disajikan pada publikasi beberapa dokumen bulan Desember nanti.
Dari data yang lebih rinci, pengertian usia muda dapat saja dianalisis dengan tidak sepenuhnya mengikuti klasifikasi BPS, misal ditambah dengan usia 25–29 tahun. Diperoleh data bahwa Jumlah pengangguran usia 15–29 tahun atau di bawah usia 30 tahun mencapai 5,60 juta orang pada Agustus 2023.
Jumlah pengangguran sebanyak itu merupakan 71,24% dari total pengangguran yang sebanyak 7,86 juta orang per Agustus 2023. Dengan demikian, pengangguran usia muda merupakan masalah paling dominan di Indonesia.
Indikator pengangguran usia muda, menurut definisi BPS ataupun yang sedikit diperluas, memberi gambaran tentang dimensi modal manusia dan implikasinya terhadap berbagai kebijakan yang perlu diambil oleh otoritas ekonomi. Baik dalam hal kebijakan ketenagakerjaan maupun pendidikan.
Kebanyakan pemuda memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki pengalaman kerja. Bagaimanapun berimbas pada kecilnya kesempatan kerja dan tingginya pengangguran pada kelompok ini.
7 Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan
BPS menyajikan berbagai informasi tentang para pengangguran, salah satunya berupa tingkat pendidikan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang disajikan menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, antara lain: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SMA), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Kejuruan (SMK), Akademi, dan Universitas.
TPT masing-masing dihitung dari persentase jumlah pengangguran berpendidikan tersebut dari jumlah angkatan kerja populasi kelompok pendidikan tersebut.
TPT tertinggi pada Agustus 2024 adalah tamatan SMK yang mencapai 9,01%. TPT SMK memang selalu melampaui TPT umum atau keseluruhan. Hal ini menggambarkan banyak penduduk tamatan SMK tidak terserap dengan baik ke dalam pasar kerja Indonesia, padahal lulusannya diharapkan dapat langsung terjun dalam dunia kerja.
TPT yang paling rendah adalah pendidikan SD ke bawah, yaitu sebesar 2,32% pada Agustus 2024. Disusul TPT SMP yang tercatat 4,11%. Kedua kelompok ini memang selalu memiliki TPT yang jauh lebih rendah dari TPT umum.
Sementara itu, TPT SMA sebesar 7,05% dan TPT Diploma I/II/III sebesar 4,83%. Sedangkan, TPT dengan Pendidikan tertinggi tamat dari universitas, mulai dari Diploma IV, Strata satu (S1) sampai dengan strata tiga (S3) mencapai 5,25% pada Agustus 2024.
Pengertian pekerja yang berpendidikan dasar adalah mereka yang belum pernah sekolah, tidak tamat SD, hingga tamat SD. Dapat pula diartikan pekerja yang berpendidikan SMP ke bawah.
Berbagai studi dan kajian menyimpulkan bahwa mereka “terpaksa bersedia bekerja” dengan kondisi pekerjaan yang buruk sekalipun. Akibatnya, tingkat pengangguran pada pendidikan tersebut justeru lebih rendah dari tingkat pengangguran umum.
Bisa pula dikatakan bahwa fakta lebih tingginya tingkat pengangguran mereka yang berpendidikan menengah dan tinggi mengkonfirmasi adanya paradoks tingkat pengangguran yang rendah. Hal tersebut mengindikasikan kualitas pekerjaan yang tersedia, yang memang lebih membutuhkan pendidikan rendah, serta memberi upah atau pendapatan yang rendah.
8 Komentar Ekonom
Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute mengatakan kepada redaksi bahwa pencermatan atas berbagai aspek dari para penganggur serta sebagian dari mereka yang bekerja, mengindikasikan masih besarnya masalah pengangguran yang dihadapi Indonesia.
Mengomentari penurunan tingkat pengangguran pada Agustus 2024, Awalil berpendapat hal itu justeru menyamarkan kondisi yang sebenarnya masih buruk. Dijelaskan tentang banyak kajian ahli dan lembaga internasional menemukan fenomena paradoks tingkat pengangguran yang rendah.
“Di negara industri maju yang disertai tingkat kemiskinan yang rendah. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, justeru sering menyamarkan kondisi kemiskinan yang substansial. Tidak tersedia jaminan perlindungan sosial, seperti asuransi pengangguran dan tunjangan kesejahteraan. Akibatnya, hanya mereka yang relatif kaya yang mampu menganggur,” kata Awalil.
Lanjut Awalil, pengangguran adalah barang mewah. Hanya mereka yang mempunyai pendapatan di luar pekerjaan (non labor income) yang bisa menganggur. Sementara mereka yang miskin, tidak bisa menganggur, mereka harus bekerja apa saja untuk dapat hidup (too poor to be unemployed).
Awalil menambahkan tentang masih sangat banyak mereka yang bekerja, namun belum mempunyai pekerjaan yang layak. Pekerjaan layak merupakan pekerjaan yang antara lain bercirikan: dilakukan atas pilihan sendiri, memberikan penghasilan yang membiayai hidup secara layak dan bermartabat, serta menjamin keselamatan fisik maupun psikologis.
“Faktanya, mereka harus bekerja apa saja untuk dapat bertahan hidup. Secara data statistik, mereka memang berkontribusi menurunkan tingkat pengangguran. Namun dikarenakan mereka miskin, dan tidak mungkin bisa menganggur,” kata Awalil.
Ditambahkannya tentang fenomena banyak orang yang melanjutkan sekolah tinggi dengan harapan setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Akan tetapi lapangan pekerjaan yang terbuka untuk itu pun masih belum sesuai dengan harapan. [adj]