Badan Pusat Statistik memberi gambaran ketimpangan pengeluaran penduduk miskin lewat indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan.
BATAS atau garis kemiskinan, baik nasional maupun provinsi, merupakan suatu ukuran berupa nilai rupiah pengeluaran. Pengeluaran sebenarnya dari penduduk miskin merupakan data yang berbeda. Ada penduduk miskin yang jaraknya dekat dan ada yang jauh di bawah garis.
BPS menghitung rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap Garis Kemiskinan (GK), kemudian membuat ukuran berupa indeks untuk sebagai data penggambarannya. Ukuran itu disebut sebagai indeks kedalaman kemiskinan, yang didefinisikan sebagai rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap GK.
Makin tinggi nilai indeks P1 artinya pengeluaran rata-rata penduduk miskin makin jauh dari garis. Bisa diartikan kondisi makin buruk. Biasanya disertai kondisi buruk lainnya, yang dinyatakan dalam data berbeda mengenai masih banyaknya mereka yang sangat miskin.
Indeks P1 nasional terus mengalami penurunan selama era tahun 2007–2013. Stagnan pada tahun 2014, dan sempat mengalami kenaikan amat sifnifikan pada 2015. Dari 1,75 pada 2014 menjadi 1,97 pada 2015. Kemudian menurun kembali hingga mencapai 1,55 pada 2019.
Pandemi Covid-19 memberi dampak buruk, terjadi peningkatan indeks P1 nasional pada tahun 2020 dan 2021. Kemudian menurun kembali selama tiga tahun terakhir, hingga mencapai 1,46 pada 2024.
Indeks P1 wilayah perdesaan tercatat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Pada Maret 2024, indeks P1 perdesaan sebesar 1,98 dan perkotaan sebesar 1,10. Artinya kesenjangan rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan di perdesaan relatif lebih besar daripada di perkotaan.
P1 sebenarnya memberi gambaran teoritis tentang besarnya dana yang diperlukan untuk program pengentasan kemiskinan. Yaitu, selisih kurang dari rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan kemudian dikalikan dengan jumlah penduduk miskin.
Tentu saja ukuran ini belum realistis, karena tidak mempertimbangkan biaya operasional dan faktor penghambat. Dan yang lebih penting, mengabaikan proses pemiskinan yang mungkin terjadi. Hanya orang miskin yang telah ada pada waktu itu yang diperhitungkan.
Bisa dikatakan bahwa indeks hanya berguna sebagai informasi tentang jumlah minimum dana yang diperlukan untuk menangani masalah kemiskinan, seandainya dilakukan melalui transfer dengan target sasaran yang sempurna.
Kelemahan lain dari indeks ini, karena tidak memperhitungkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Perhitungannya terhadap angka rata-rata pengeluaran seluruh penduduk miskin.
Untuk melengkapinya, BPS menghitung pula apa yang disebut sebagai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Indeks ini memberi gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Sebagai ukuran ketimpangan di antara penduduk miskin saja, tidak menyertakan seluruh penduduk. Makin kecil nilai indeksnya, makin berkurang ketimpangannya.
Indeks Keparahan Kemiskinan nasional selama periode 2007–2014 terus menurun, setelah sebelumnya berfluktuasi dan sempat naik signifikan pada 2006. Sempat mengalami kenaikan pada 2015 dan nilainya bertahan pada 2016, kemudian kembali cenderung menurun hingga tahun 2019.
Pandemi Covid-19 memberi dampak buruk, terjadi peningkatan indeks P2 nasional pada tahun 2020 dan 2021. Kemudian menurun kembali selama tiga tahun terakhir, hingga mencapai 0,35 pada 2024.
P2 wilayah perdesaan juga masih lebih tinggi dibanding perkotaan. Pada Maret 2024, indeks P2 perdesaan sebesar 0,48 dan P2 perkotaan sebesar 0,25. Artinya ketimpangan antarpenduduk miskin di perdesaan masih lebih buruk. [adj]