Kenaikan BI-Rate berbiaya besar bagi ekonomi, khususnya kondisi kehidupan rakyat banyak.
BANK Indonesia menaikan BI Rate sebesar 0,25 bps menjadi 6,25% pada 24 April 2024. Level tertinggi sejak Agustus 2016, ketika suku bunga kebijakan diganti menjadi BI 7-day reverse repo rate (BI7DRR), yang mengacu transaksi reverse repo Bank Indonesia tenor tujuh hari. Sebelumnya merupakan suku bunga dari Sertifikat Bank Indonesia bertenor 12 bulan.
Bank Indonesia mengatakan bahwa kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasarannya. Sasaran inflasi di kisaran 1,5–3,5% pada 2024 dan 2025, yang dianggap sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability.
Bank Indonesia menjelaskan sekaligus menimbang berbagai faktor dan dinamika perekonomian terkini dalam pengambilan kebijakannya itu. Disajikan asesmen umum atas sembilan aspek atau kondisi. Di antaranya: ekonomi global, ekonomi domestik, Neraca Pembayaran Indonesia, nilai tukar rupiah, inflasi, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran.
Bank Indonesia mengakui dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian meningkat karena perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Ada spekulasi penurunan Fed Funds Rate yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan. Akibatnya, investor global memindahkan portofolionya ke aset yang lebih aman yang menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar.
Sebenarnya, tren modal keluar Indonesia telah terjadi selama beberapa bulan terakhir, sebelum ada ketegangan geopolitik Timur Tengah. Selama tahun 2024 berdasarkan data setelmen sampai dengan 25 April 2024, nonresiden (asing) telah mencatatkan jual neto sebesar Rp47,26 triliun di pasar Surat Berharga Nasional (SBN).
Namun, asing masih tercatat beli neto Rp9,68 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp9,02 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Total arus bersifat keluar bukanlah karakteristik ekonomi Indonesia pada tahun-tahun normal. Meski masih terbilang kecil, tren tersebut patut diwaspadai.
Bank Indonesia menilai ekonomi Indonesia tetap masih bisa tumbuh cukup tinggi dan berdaya tahan saat ini. Ketahanan eksternal ekonomi nasional juga diklaim didukung surplus Neraca Pembayaran Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi diprakirakan memang bisa dijaga kisaran 5% pada tahun 2024. Namun laju ini masih di bawah harapan sebelumnya, seperti asumsi APBN 2024 yang sebesar 5,2%. Jika pelemahan ekonomi global berlanjut atau laju pertumbuhan ekonomi Cina melandai, maka terdapat risiko laju ekonomi Indonesia turun hingga 4,8%.
Tentang neraca pembayaran Indonesia (NPI) sebenarnya tidak sebaik yang diklaim Bank Indonesia. Surplus memang dialami selama tahun 2019–2023 atau 5 tahun terakhir, setelah sempat defisit pada tahun 2018. Akan tetapi nilai surplusnya terbilang kecil dibanding pada masa lampau. Tambahan devisa karena faktor neraca pembayaran makin menurun, atau terjadi sedikit pelemahan atas ketahanan eksternal.
Bank Indonesia sendiri meyakini NPI 2024 masih akan terjaga. Transaksi Berjalan dalam kisaran defisit rendah, sedangkan Transaksi Modal dan Finansial akan surplus. Namun, defisit Transaksi Berjalan tampaknya bisa dipastikan, sedangkan surplus Transaksi Modal dan Finansial masih berupa harapan.
Bank Indonesia melaporkan beberapa hal lain yang dinilai dalam kondisi baik. Inflasi terjaga kisaran sasaran 1,5–3,5%. Transmisi kebijakan moneter berjalan baik dan ketahanan sistem keuangan tetap terjaga baik. Kinerja transaksi sistem pembayaran tetap tumbuh kuat yang didukung oleh stabilitas infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran tetap terjaga. Pertumbuhan kredit perbankan pun terus meningkat.
Kondisinya Tak Sebaik Asesmen Bank Indonesia
Penulis menilai sebagian besar asesmen Bank Indonesia seolah menyajikan yang “ingin dilihat” saja, dan prakiraannya terlampau optimistis. Jika sebagus itu, mestinya tidak perlu menaikkan BI Rate. Level 6,00% saja sudah terasa cukup tinggi, apalagi sebesar 6,25%.
Bank Indonesia mestinya cukup menyadari BI Rate sebesar itu cukup tinggi. Tampak dari tambahan penjelasan kenaikan disertai beberapa kebijakan untuk mengendalikan dampak buruknya. Terdapat kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth atau mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Penulis menilai Bank Indonesia terlampau fokus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak menguatnya dolar AS. Bank Indonesia menyebut optimalisasi strategi operasi moneter “pro-market“.
Penjelasan tentang adanya beberapa kebijakan “pendamping” untuk mengurangi dampak tingginya BI-Rate terkesan agak dilebih-lebihkan. Misalnya pengakuan kebijakan makroprudensial longgar yang terus ditempuh mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga. Juga tentang kebijakan sistem pembayaran yang diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptansi digitalisasi sistem pembayaran.
Kenaikan BI-Rate yang sudah cukup tinggi selama ini jelas merupakan kebijakan moneter yang ketat, yang akan berdampak pada permintaan agregat. Mungkin akan menurunkan tekanan inflasi. Namun, kondisi saat ini justeru sedang terdapat kelesuan ekonomi atau kekurangan permintaan agregat.
Tidak sepadan biaya menahan laju Inflasi dengan kebutuhan mendinamisasi perekonomian yang sedang membutuhkan dorongan permintaan agregat, atau sekurangnya daya beli masyarakat luas.
Bank Indonesia perlu menimbang lebih jauh asumsi transmisi kebijakan pada jalur nilai tukar pada saat ini. Sangat mungkin tidak terealisasi asumsi kenaikan BI-Rate yang meningkatkan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri, lalu mendorong investor asing untuk menanamkan modalnya ke instrumen keuangan di Indonesia. Dampak berikutnya, penguatan nilai tukar rupiah.
Perlu diakui tiap pilihan kebijakan ekonomi memiliki kelebihan dan kekurangan, serta bergantung pada ketepatan asumsi dan realisasi. Secara umum, penulis menilai kebijakan menaikan BI-Rate kali ini, apalagi akan ditambah pada bulan-bulan mendatang, akan berbiaya sangat besar bagi ekonomi Indonesia. Khususnya kondisi kehidupan rakyat banyak.
Perlu dievaluasi berbagai bauran kebijakan yang as usual karena kondisinya terindikasi makin luar biasa kompleks. Baik faktor global, maupun domestik. []