BI-Rate berkorelasi positif dengan kurs rupiah. Jika BI-Rate naik, maka rupiah cenderung menguat.
SESUAI undang-undang, Bank Indonesia merupakan otoritas ekonomi yang menjalankan kebijakan moneter, dengan tujuan utama menciptakan stabilitas nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah dimaksud adalah kestabilan harga barang dan jasa (inflasi) serta nilai tukar rupiah (kurs).
Bank Indonesia memberlakukan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework (ITF) sejak 2005, yang kemudian disempurnakan dengan kerangka Flexible ITF pada 2008. Salah satu penerapan utamanya dengan memakai suku bunga acuan yang disebut BI-Rate.
BI-Rate semula merupakan suku bunga dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tenor selama 12 bulan. Bank-bank umum yang menyimpan dana mereka berupa SBI memperoleh pendapatan bunga tahunan sesuai besaran BI-Rate.
Suku bunga acuan kemudian diubah menjadi BI 7-day reverse repo rate (BI7DRR) sejak 19 Agustus 2016. Perubahan ini berarti BI membeli SUN dari Perbankan dengan janji dibeli kembali oleh bank dalam 7 hari. Bank-bank umum dapat menarik kembali dana yang mereka simpan di BI dalam tempo tujuh hari serta kelipatannya.
Penyebutan suku bunga acuan menjadi BI-Rate sejak akhir 2023 hanya perubahan nama dari BI7DRR. Kerangka kerjanya tidak mengalami perubahan.
Suku bunga acuan memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang. Sifat transaksional atau diperdagangkan di pasar terutama dengan penggunaan instrumen repo. Dan hubungannya menjadi erat dengan harga Surat Utang Negara (SUN) di pasar sekunder.
Oleh karena porsi SUN yang bisa diperdagangkan makin besar, dengan partisipasi nonresiden yang cukup aktif, maka BI-Rate berpengaruh langsung kepada yield SUN. Pada gilirannya berdampak cukup kuat pada nilai tukar rupiah.
Terbukti dalam jangka panjang pola relasi berdasar riset data, BI-Rate memiliki transmisi korelasi positif dengan kurs rupiah. Jika BI-Rate naik, maka rupiah cenderung menguat.
Dilihat dari aspek volatilitas, pelemahan rupiah biasanya mendahului BI-Rate. Akibatnya terjadi penurunan nilai impor. Dalam jangka menengah (midterm) atau beberapa bulan saat pelemahan rupiah akan menyebabkan transmisi korelasi impor sebagai pendorong Inflasi.
Pada sisi lain, rupiah yang melemah diikuti naiknya rate volatilitas rupiah di pasar uang antar-bank atas dolar AS. Hal itu menyebabkan ekses likuiditas ke melemahnya harga SUN, yang berakibat kenaikan yield SUN.
Menimbang pola data demikian, BI-Rate memang harus dinaikkan. Antara lain karena kondisi beberapa bulan belakangan sebelumnya: (1) harga penutupan harian rupiah melemah ke rata-rata Rp16.240 dari Rp15.800; (2) rate volatilitas rupiah atas dolar AS di perdagangan harian pasar uang rata-rata harian per tahunnya 6,64%; (3) Yield SUN meningkat ke 7,256%.
Bahkan, jika dilihat kenaikan BI-Rate ke 6,25% bisa dikatakan terlambat (behind the curve). Yield di pasar masih jauh lebih besar, mencapai 7,27%. Data-data memperlihatkan bahwa naiknya yield dan rate volatilitas rupiah-dolar telah melebihi BI-Rate.
Bagaimanapun, jika BI-Rate tak mampu meredam pelemahan nilai tukar maka akan berdampak besar pada sektor riil. Terutama pada impor bahan baku, barang konsumsi, dan energi. Bahkan, kenaikan kurs dan volatilitas akan menurunkan produktivitas jangka menengah.
Sedangkan terhadap suku bunga pinjaman perbankan, pengaruh akan terjadi jika BI-Rate terus naik dalam jangka 3–6 bulan dan tetap tinggi dalam 1 tahun. Hal itu ditentukan oleh seberapa dalam pelemahan rupiah dan penurunan harga sekunder SUN bisa diredam BI untuk mengatasi masalah sistem pembayaran impor konsumsi dan energi dan pelemahan nilai aset perbankan dan kecukupan modalnya (CAR).
Secara keseluruhan, bauran kebijakan memang mesti diperkuat untuk mendukungnya. Koordinasi dan sinergi kebijakan moneter dengan fiskal moneter harus ditingkatkan. Belanja Negara (fiskal) harus disesuaikan. Liquidity swap pembelian SUN (buy back dari neraca cadangan risiko fiskal) harus diaktifkan dalam operasi moneter Reverse RePO SUN BI dengan perbankan. []