Nilai ekspor Indonesia pada tahun 2023 mencapai angka sebesar US$258,80 miliar.
NILAI ekspor melebihi nilai impor barang atau mengalami surplus sebesar US$36,91 miliar pada tahun 2023. Neraca perdagangan barang Indonesia memang cenderung mengalami surplus, namun pernah mengalami defisit pada tahun-tahun tertentu.
Surplus kadang diperoleh karena impor yang turun lebih cepat dibanding ekspor. Sebagaimana yang terjadi pada tahun 2020, nilai ekspor barang sebenarnya juga mengalami penurunan.
Masalah yang mendasar dalam Neraca Perdagangan Barang Indonesia sebenarnya bukan sekadar surplus atau defisitnya saja. Terutama bukan hanya peningkatan nilai ekspornya, melainkan fakta struktur ekspor yang masih belum kokoh dan kurang menjamin keberlanjutannya.
Struktur ekspor Indonesia lebih didominasi oleh produk primer atau produk tanpa olahan atau hanya sedikit olahan, jika dilihat berdasar Standard International Trade Classification (SITC). Berdasar SITC, ekspor dikelompokan dalam tiga kategori: produk primer, produk manufaktur, dan produk lainnya.
Produk primer terdiri dari produk pertanian serta bahan bakar dan pertambangan. Produk pertanian sendiri terdiri dari makanan dan bahan baku.
Dari nilai ekspor Indonesia sebesar US$258,80 miliar pada tahun 2023, sebanyak US$242,87 miliar atau 93,85% merupakan ekspor nonmigas.
Komposisi ekspor nonmigas itu berdasar SITC terdiri dari: produk primer sebesar 50,1%, produk manufaktur sebesar 49,2%, dan produk lainnya 0,3%. Dengan demikian, produk primer mencapai separuh dari total ekspor.
Komposisinya produk primer di kisaran separuh dari total ekspor ini telah bertahan lama. Porsinya memang terkesan naik dan turun, namun lebih disebabkan oleh fluktuasi harga komoditas. Dan jika dilihat berdasar harga riil, tidak banyak perubahan komposisi selama 10 tahun terakhir, meski tidak sebesar masa Orde Baru dahulu.
Kelompok barang yang berasal dari ekstraksi hasil alam dan yang hanya sedikit diolah masih memiliki porsi cukup besar. Selain bernilai tambah tidak maksimal, harga komoditasnya pun amat fluktuatif, dan Indonesia bukan penentu harga.
Barang ekspor yang berasal dari industri pengolahan juga masih memiliki konten impor dalam porsi besar. Secara keseluruhan, ragam barang ekspor masih kurang bervariasi, dan komoditas unggulan bersifat kurang menentukan dalam pasar internasional.
Dilihat dari kelompok barang ekspor berdasar Harmonized System (HS) 2 digit, maka terdapat 10 golongan barang yang berporsi besar, rata-rata kisaran 70% dari total ekspor. Lima terbesar pada tahun 2023 adalah sebagai berikut:
- Bahan bakar mineral sebesar US$59,49 miliar (22,99%)
- Lemak dan minyak hewani/nabati sebesar US$28,45 miliar (10,99%)
- Besi dan baja sebesar US$26,70 miliar (10,32%)
- Mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya sebesar US$14,35 miliar (5,54%)
- Kendaraan dan bagiannya sebesar US$11,15 miliar (4,31%)
Sedangkan dalam hal kategori barang secara lebih spesifik, nilai ekspor nonmigas terbesar berupa 15 komoditas utama yang berporsi 64,17% dari total. Lima komoditas terbesar pada tahun 2023 adalah sebagai berikut:
- Batu Bara sebesar US$34,59 miliar (14,24%)
- Besi/Baja sebesar US$27,63 miliar (11,38%)
- Minyak Kelapa Sawit sebesar US$23,97 miliar (9,87%)
- Bijih Tembaga sebesar US$8,33 miliar dan Lignit sebesar US$8,10 miliar (3,18%).
Negara tujuan ekspor nonmigas didominasi oleh 10 negara utama yang porsinya pada tahun 2023 mencapai 72,7%. Selama satu dekade terakhir, porsinya memang selalu di kisaran 70%. Bahkan, lima negara utama mencapai 55,8% atau lebih dari separuh dari total nilai ekspor nonmigas tahun 2023, yaitu: Tiongkok, Amerika Serikat, India, Jepang dan Filipina. []